Lihat ke Halaman Asli

Kotak Keberuntungan

Diperbarui: 30 Oktober 2015   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku pertama kali bertemu dengannya di halaman belakang tempat kos ini. Rambut panjangnya terjatuh dari pundaknya seraya kedua tangannya dengan lincah menari-nari di dalam tas ransel coklat, mencari sesuatu. Barang-barang di dalam tas besar di sampingnya itu saling berbenturan menimbulkan suara berisik yang menginsyaratkan bahwa ia sedang tak sabar dan tergesa-gesa. Sebuah sugesti dalam diriku membuatku tak berkutik, dan disitulah aku, terdiam memandangi gadis berparas cantik yang sibuk dengan urusannya.

Suara berisik dari dalam tas kini berhenti, tergantikan oleh raut wajah lega dari gadis itu. Sepertinya ia sudah menemukan sesuatu yang dicarinya. Selesai dengan urusannya, ia mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya, sibuk mengetik, kemudian mendongak, menatapku, dan menyadari keberadaanku yang semenjak tadi terpaku. Sekilas, ekspresi wajahnya terkejut, namun dengan cepat wajahnya berganti terhias dengan senyuman lembut.

“Hai, penghuni baru ya?”

Itulah bagaimana aku mengenalnya. Seorang perempuan cantik sebaya denganku bernama Alya. Seseorang yang sangat ramah dan kalem, seseorang yang dalam hitungan hari bisa cepat akrab denganku yang sebenarnya sulit bergaul ini. Seseorang yang dengan cepat mengerti segala tentangku : kebiasaan, watak, hingga cerita-ceritaku sebelum aku berada di kota metropolitan ini. Ya, ganjalnya, semua terjadi begitu cepat.

***

“Ceroboh dan teledormu itu harus segera dihilangkan.” Alya meletakkan box cokelat kecil di samping tubuhku yang terebah di kasur. Aku menatap benda di sisiku itu, kutinggalkan dimana lagi kali ini?

“Kamu menaruhnya di atas mesin cuci. Ampun, kalau sampai hilang, apa yang akan terjadi padamu?” ujarnya sambil menyisir rambut lurusnya. Aku hanya melongo mendengar ucapannya. Aneh, aku memang membawanya saat ke mesin cuci, tetapi seingatku  sudah kutaruh kembali di laci lemariku. Tapi hal seperti ini memang sudah sering terjadi, bahkan berulang kali. Kenyataan bahwa Alya yang membawa kotakku kembali ke kamar ini berarti membuktikan bahwa ingatanku yang salah. Aku tak peduli. Setidaknya aku bersyukur kepada Tuhan karena mengirim Alya yang masih menyadari keberadaan kotak berhargaku yang menyangkut kelangsungan hidupku sehari-hari.

“Syukurlah kamu masih berbaik hati membawanya kembali, Al,” ucapku berterima kasih. Aku membuka kotak kecil yang sudah kuanggap separuh jiwaku itu. Bukan kotaknya yang penting, namun hal di dalamnya; uang. Sejak dulu, aku memang terbiasa meletakkan uangku di kotak mungil ini. Entah mengapa aku tak suka pada dompet. Lagipula, kotak seperti ini lebih praktis dibuka-tutup dan diletakkan dalam tas. Aku bukan maniak uang, tetapi kalau sampai kotak ini, yang juga berisi kartu ATM-ku hilang, entah bagaimana nasibku yang sedang jauh dari kampung halaman. Percayalah, uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang.

Setelah mengobrak-abrik sebentar uang di dalam kotak itu,  aku mendapati keganjilan. Seingatku, seharusnya masih ada lima lembar warna merah, tiga lembar warna biru, selembar hijau, dan lembaran-lembaran lain berwarna pudar yang aku bahkan tak sempat menghitung ada berapa. Tapi ini sudah entah untuk keberapa kalinya terjadi. Sisa uang dalam ingatanku dan dalam kenyataanya, berbeda.

Aku memang tipe orang yang seperti ini. Aku cuek, dan tak peka. Aku berbeda dengan ibuku yang teliti, menulis biaya pengeluaran hari ini, menghitung uang kembalian dengan cermat, atau mempertimbangkan biaya untuk beli ini itu. Aku bahkan tak berpikir panjang atau memperhatikan pengeluaranku. Selama ada uang, maka aku masih bisa menjalani keseharianku, dan ketika habis, aku akan ambil di ATM. Prinsipku seperti itu, karena aku bukan orang yang rajin dan mau repot-repot menulis biaya untuk membeli barang, dan sisa saldo di buku note. Kejadian-kejadian serupa seperti ini sama sekali tidak pernah kupikirkan, karena aku menganggap semua ini hanyalah akibat dari kecerobohanku. Tapi belakangan, hal ini malah membuatku resah.

“Kenapa, Vi?” Alya tiba-tiba bertanya, menyadari ekspresiku yang tak baik. Ah, sudah kuduga, sahabatku yang satu ini memang paling peka terhadapku. Ia seolah memiliki kemampuan telepati, selalu sadar saat aku sedang dalam keadaan yang tak baik. Aku menceritakan hal yang agak membuatku gundah selama ini, Alya mendengarkan dengan serius sembari sekali-sekali mengangguk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline