Lihat ke Halaman Asli

Makna Tersirat dalam Cerpen "Jembatan Tak Kembali" (Karya Mardi Luhung)

Diperbarui: 23 Oktober 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

link cerita asli : https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/04/01/jembatan-tak-kembali/

Aku akan bercerita pada kalian. Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang menyeberang di jembatan itu, tak akan kembali. Disergap oleh batas yang ada di seberang sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.

Dan sebagai jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.

Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu. Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah yang ceria. Penuh harap. Dan gelora.

Bahkan, jika kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu) bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang dicinta. Sorga yang ketemu lagi.

Dan sorga yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana, apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga.

”Hoi, berilah kami kelancaran untuk menyeberang!”

”Hoi, juga kelancaran agar tak terperosok!”

”Hoi, juga keteguhan diri!”

Tentu saja, meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit lapis ketujuh.

Langit yang di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline