Lihat ke Halaman Asli

Melindungi Masa Depan Anak dengan PeDeA

Diperbarui: 17 Oktober 2016   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tempe karya Ahya. Dokpri

Masa depan, siapa yang bisa memprediksi dengan tepat? Masa depan adalah rahasia Tuhan dan merupakan juga hasil dari apa yang dilakukan sekarang. Begitu juga masa depan anak kita. Kita tidak bisa meramalkan dengan tepat apa dan bagaimana kejadiannya nanti, namun hanya bisa mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Tak kurang dari Ali bin Abi Thalib, sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad saw, dan Kahlil Gibran, salah satu pujangga besar dunia, yang mengingatkan kita, bahwa anak kita adalah bukan kita dan bukan milik kita, sehingga kita seharusnya mendidik (dan mempersiapkan) mereka untuk sebuah zaman yang berbeda dari zaman kita hidup sekarang. Bagaimana mempersiapkannya?

Mempersiapkan anak kita menghadapi masa depannya adalah dengan melindungi dirinya sebaik-baiknya dengan memberikan bekal sebanyak-banyaknya untuk masa depannya. Pada masa itu, mungkin kita sudah tidak ada lagi di dunia ini, ataupun kalaupun masih ada, tentu sudah berusia lanjut dan tak bisa lagi melindungi anak kita dengan kekuatan yang kita miliki. Bahkan mungkin yang sebaliknya terjadi, anak kitalah yang akan menjaga, merawat dan melindungi kita dengan kemampuan dan kekuatan mereka.

Lalu bekal apa yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita? Banyak yang sedari sekareng menabung rumah, mobil, tanah, atau membangun sebuah usaha yang kelak bisa diwariskan kepada anak-anaknya. Atau ada juga yang mempersiapkan tabungan, deposito dan lain lain untuk anak-anaknya. Enggak apa-apa, boleh juga kok. Namun dana atau asset diam saja tak cukup. Saya sendiri mencoba mengumpulkannya dalam bentuk “PeDeA” . apa itu PeDeA?

Pe adalah Pengetahuan, wawasan dan ilmu

Pengetahuan, wawasan dan ilmu ini mencakup semua ilmu untuk kehidupannya kelak, baik ilmu non agama maupun ilmu agama. Life skill, demikian ringkasnya. Life skill tidak hanya didapat di sekolah, dan bahkan lebih banyak didapat di kehidupan sehari-hari. Kedua anak saya yang menjalani Homeschooling mendapat banyak sekali kesempatan menimba life skill ini dalam proses pembelajarannya sehari-hari.

Ketika dia belajar membuat tempe dari kedelai non GMO misalnya, bukan berarti dia harus menjadi produsen atau pengusaha tempe nantinya. Di situ dia belajar matematika, biologi, fisika, kimia, bahasa Indonesia, kewarganegaraan, kerjasama dalam team, kesabaran, ketangguhan, ketelitian, kerapian, dan sekaligus belajar memasak. Tempe hasil buatan anak saya enaaak sekali, dan ketika digoreng, rasanya mak nyusss.

Ketika dia belajar memelihara kucing, dia tidak harus menjadi dokter hewan atau seorang animal rescuer kelak. Dia kelak bisa jadi apa saja, tetapi tetap menjadi seorang penyayang binatang, seorang yang empatis, yang peduli pada alam dan lingkungan.

Anak tidak hanya butuh belajar hal-hal yang sifatnya akademis, dalam habit bermainnya mereka justru lebih butuh nilai-nilai kehidupan yang akan mereka serap dan mereka gunakan dalam kehidupannya kelak di masa depan.

De adalah Doa yang tak putus

Sejak semula saya tidak pernah mendoakan anak saya, atau anak orang lain, dengan kalimat “Pintar-pintar ya  sekolahnya nanti”. Kenapa? Sebab pintar saja tidak pernah cukup. Berapa banyak orang yang katanya pintar, namun kerjanya menipu? Berapa banyak orang yang konon kabarnya pintar, namun terjerembab dalam kasus yang enggak masuk logika?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline