[caption id="attachment_211399" align="aligncenter" width="620" caption="Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh saat melakukan Safari Ramadhan ke SDN 03 Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/8/2012)./Admin (KOMPAS.com/Indra Akuntono)"][/caption] Pernyataan Mendikbud, Mohammad Nuh yang menilai hukuman fisik adalah bentuk pelajaran dari guru kepada siswa sah-sah saja untuk diberikan di ruang kelas selama tidak berlebihan, telah menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan pendidik. Pernyataan pak Mentri ini dikeluarkan hari Jumat tanggal 7 September 2012, menyusul aduan orangtua murid pada Komisi Perlindungan Anak, terhadap dugaan kekerasan fisik yang dilakukan seorang guru pada muridnya di SDN Tugu Utara 23 Pagi, Jakarta Utara.
Sejumlah diskusi yang berlangsung hangat di sejumlah forum-forum cyber media banyak yang menyerang pernyataan pak Mentri yang dinilai tidak bijak. Namun tak sedikit dari pihak guru yang merasa dibela oleh pernyataan pak Mentri bahwa hukuman ini penting dan menyatakan banyak murid yang mentalnya terlalu lembek karena banyak dimanjakan orang tua.
Sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari menyadari bahwa bentuk pendidikan yang mengajarkan kekerasan akan meninggalkan jejak memori rasa nyeri di otot seumur hidup akibat perlakuan fisik di masa lalu. Penelitian dalam skala nasional di Amerika mengenai “Belifs and Attitudes About Memory”-- yang dipublikasikan tahun 2002 oleh para ahli psikolog pendidikan, Prof. Scott W. Brown, Ph.D, dari University of Connecticut, US, bersama Dr. Maryanne Garry dari Victoria University, New Zealand, serta Dr. Elizabeth Loftus dari University of California – Irvine, US-- melaporkan bahwa rasa nyeri di otot akibat kekerasan fisik di masa kecil akan terus tertanam dan tidak hilang pada saat anak telah dewasa. Sampel penelitian ini adalah ribuan mahasiswa undergraduate di Amerika Serikat yang ikut berpartisipasi dalam penelitian mengenai rekaman jejak memori pada level alam bawah sadar individu.
Penelitian ini sejalan dengan wisdom klasik mengenai dampak perlakuan orang dewasa pada anak:
Children Learn What They Live
(by Dorothy Law Nolte)
If a child lives with criticism, they learn to condemn.
If a child lives with hostility, they learn to fight.
If a child lives with ridicule, they learn to be shy.
If a child lives with shame, they learn to feel guilty.
If a child lives with encouragement, they learn confidence.
If a child lives with tolerance, they learn to be patient.
If a child lives with praise, they learn to appreciate.
If a child lives with acceptance, they learn to love.
If a child lives with approval, they learn to like themselves.
If a child lives with honesty, they learn truthfulness.
If a child lives with security, they learn to have faith in themselves and others.
If a child lives with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.
Jika masih ada yang meragukan kebenaran isi puisi di atas, lihatlah tayangan visual dampak kekerasan yang dilakukan orang dewasa pada anak di http://www.youtube.com/watch?v=7d4gmdl3zNQ
Anak adalah miniatur orang dewasa. Apa yang orang dewasa tanamkanadalah kelak yang akan anak praktekanpada generasi berikutnya saat mereka tumbuh menjadi orang dewasa kelak. Menanamkan kekerasan atas nama disiplin adalah kekeliruan besar apapun bentuk rasionalisasinya. Kekerasan akan menghasilkan mata rantai kekerasan berikutnya dalam bentuk baru. Karena anak akan mewarisi memori rasa nyeri yang berbuah dendam untuk dilampiaskan kembali pada generasi yang lebih lemah.
Pak Nuh yang baik,
Membela kepentingan guru adalah bukan membela tindakan kekerasan yang dilakukan mereka. Jika itu yang bapak lakukan sama artinya bapak membiarkan lingkaran kekerasan akan diwarisi anak cucu kita kelak. Jika bapak ingin membela kepentingan guru, maka penuhi hak-hak dasar kemanusiaan guru terlebih dahulu seperti menciptakan rasa aman pada guru di lingkungan sekolah, memberi ruang kemerdekaan untuk guru menyuarakan suara kebenaran, membela para guru jujur yang tertindas yang suaranya tenggelam oleh perilaku korupsi dan kecurangan yang banyak terjadi di lingkungan pendidikan sendiri. Jika bapak sudah mampu memenuhi ini, maka akan muncul lebih banyak lagi potensi-potensi guru yang bersifat positif yang akan muncul ke permukaan. Dan akan lebih banyak lagi siswa-siswa yang terinspirasi oleh kehebatan contoh-contoh tindakan positif dari guru-gurunya, bukan terinspirasi oleh kekerasan dari seorang guru pada muridnya.
Pak Nuh yang baik,
Tengoklah kembali betul-betul semboyan pendidikan di benak bapak sebagai orang nomor satu di dunia pendidikan. Tidakah bapak mengetahui semboyan “Tut wuri handayani”, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Apakah bapak menyadari arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).
Sehingga tercipta wisdom:
Di depan, seorang pendidik memberikan teladan atau contoh tindakan yang baik.
Di tengah, seorang pendidik berjalan di antara murid, menciptakan prakarsa dan ide.
Di belakang seorang pendidik memberikan dorongan dan arahan.
(Ki Hadjar Dewantara)
Pak Nuh yang baik,
Belajarlah kembali wisdom dari pendiri pendidikan Ki Hadjar Dewantara, maka Anda akan menyadari bahwa rel pendidikan Indonesia sudah terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai bagaimana memanusiakan manusia, bagaimana memanusiakan anak sebagai miniatur manusia dewasa.
Anak-anak Indonesia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang dari para guru yang bisa memberikan perlindungan dalam lingkungan yang penuh rasa aman, bukan guru yang mendatangkan sumber ancaman. Anak-anak Indonesia membutuhkan para guru yang mengajarkan nilai-nilai kasih yang diperlukan mereka untuk mengantarkan perkembangan jiwa mereka agar tumbuh kelak menjadi para pemimpin hebat.
Sumber foto: http://nisabollong.wordpress.com/2012/05/
East river, Manhattan, NYC, 9 September 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H