Lihat ke Halaman Asli

muh. syarif

salam INDONESIA

Parade Kompetisi Penegak Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat kembali saat sesi tanya jawab pada sebuah seminar, meskipun tema seminarnya saya lupa, ketika diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Saya memulai pertanyaan dengan peryataan bahwa "negara kita dikenal sebagai negara hukum"....pun terdengar dari belakang kursi saya suara dengan jelas dan tegas protes bahwa "siapa yang bilang...negara kita kan negara kepulauan"......!!!!

Bahwa sangat sering kita mendengar negara kita dengan julukan negara hukum, negara kepulauan, negara agraris, semata-mata pertanda bahwa dari segi julukan saja negara kita amat sangat beragam, serta berbagai julukan lainnya yang biasanya melekat saat kita menyebut negara Indonesia.

Menyebut HUKUM, jujur saya kurang paham, sedikit sekali saya ngerti soal hukum, sekolah juga bukan sekolah hukum, tapi saya tidak pernah bisa lupa ketika usia sekolah SD sampai SMUkarena kerap kali saya kena hukum dari bapak/ibu guru karena "dianggap" melanggar hukum yang berlaku disekolah. Kalau di sekolah dulu, guru BP (saya sudah lupa, apa itu BP) namun yang pasti, ketika berhadapan dengan pelanggaran hukum di sekolah, pasti masuk ke ruangan BP. BP saat itu dianggap sebagai penegak hukum di sekolah dan sangat "ditakuti" meskipun tidak jarang mereka para guru BP tidak "ditaati", terbukti jadi langganan masuk ruangan BP.

Mari sejenak melupakan kisah Sang Penegak Hukum Sekolahan, bpk/ibu guru BP, namun saya selalu berterima kasih atas jasa dan bimbingan hukumnya saat itu. Tentu tidak sepadan ketika Guru BP disandingkan dengan Para Penegak Hukum yang ada di negara agraris dan kepulauan ini seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK apalagi diikutkan dalam suasana pertandingan dalam penegakan hukum, sebagaimana layaknya terjadi saat ini, dimana para penegak hukum kita seakan-akan bertanding dalam sebuah kompetisi untuk menegakkan hukum. Maka seraya kita berpikir, bahwa luar biasa kita punya penegak hukum dan begitu pun luar biasanya para pelanggar hukum kita, yang seakan ikut pula berlomba dan saling kejar-mengejar dalam penanganan kasus demi kasus.

Pemandangan berbeda ketika para penegak hukum kita dalam memainkan perannya, yang mungkin tak kunjung habis dan atau garis finish tak kunjung mendekat dan atau nilai akhir skor yang beda-beda tipis satu dan lainnya sehingga diperkirakan akan susah dalam menentukan bakal pemenang dalam memberantas dan menegakkan hukum. Ditengah kompetisi, muncul ego sektoral serta akal bulus (biasanya dituduhkan kepada pelanggar hukum) satu atau semua sang penegak hukum ini, mungkin dengan harapan bisa memenangkan kompetisi sehingga sejatinya yang jadi tujuan atau target/sasaran mereka adalah para pelanggar hukum, namun malah saling jegal menjegal satu sama lain diantara para penegak, bahkan dijadikan sebagai salah satu target/sasaran dan tersebutlah sebagai "pelanggar hukum".....katanya.

Sang Pemenang

Sejatinya, saya yang kurang ngerti persoalan hukum akan merasa punya harapan akan terciptanya penegakan hukum yang lebih kondusif dinegara agraris dan kepulauan ini dengan berkompetisinya para penegak hukum, sehingga nantinya saya sudah tidak diprotes lagi untuk menyebut negara kita sebagai "negara hukum". Namun apa nyana, merekalah yang saling tangkap menangkapi, tuduh menuduh, jegal menjegal sehingga garis finis pengekan hukum semakin jauh dan semakin mustahil bisa dilewati oleh para peserta kompetisi. Harapan yang diangan-angankan sebagai pemenang dalam kompetisi ini adalah terciptanya kepastian hukum serta taat hukum, bukan takut pada hukum seperti ketakutan saya terhadap guru BP saat saya sekolah dulu. Dipastikan, jikalau iklim kompetisi ini masih berlangsung kurang objektif, maka kemungkinan besar yang akan jadi pemenang kembali adalah "para koruptor dan penggiat pelanggar hukum"

Kemana Wasitnya

Ketika sirine atau penanda dimulainya sebuah pertandingan, maka para peserta lomba sudah pasti fokus pada aturan main, kode etik, sanksi dalam sebuah aturan main, yang oleh kita biasanya aturan-aturan ini akan dipandu oleh "wasit". Dalam hal ini, saya tidak punya kemampuan untuk menentukan, siapa sebenarnya wasitnya, tersebutlah "undang-undang" yang telah disusun oleh perwakilan rakyat yang ada di DPR, tersebutlah bahwa yang pantas jadi wasit adalah "Presiden" entahlah............?

Saling mempertontonkan kekuatan, sejatinya berpengaruh psikologis terhadap lawan kompetisi dan itu perkara biasalah, namun yang disayangkan adalah pamer dn pertunjukan kekuatan ini ditujukan kepada kawan sejawat, kawan sekandung.....konon kabarnya....!!!. Sadar akan potensi dan kekuatan yang dimiliki "mungkin" terbatas, akhirnya terindikasi lagi adanya tawar menawar dan atau limpah-melimpahkan point (skor) yang sudah jadi milik paten dari para penegak hukum tersebut. Ini menjadi kebingungan sendiri buat para penonton (rakyat) yang harusnya bisa menjadi penikmat hasil pertandingan, namun malah menjadi sorakan ketidak percayaan, dan atau apatisme buat penegakan hukum di negara hukum ini...(akh...negara hukum).

Lantas.....siapa yang menang..................?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline