Lihat ke Halaman Asli

Andreas Ismar

penulis lepas

Debat Kedua: Kala Keduanya Gagal Paham Utang

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat kedua Capres kemarin mengusung tema Ekonomi Kreatif. (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Debat kedua Capres kemarin mengusung tema "][/caption]

Kedua kandidat RI I beradu argumen, namun sealiran terkait ekonomi kreatif. Kesamaan mereka tidak hanya itu.

Kedua calon presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, tampil konsisten dalam debat Minggu, 15 Juni: Prabowo berpikir besar dan berapi-api, sementara Jokowi mengusung ide sederhana dengan intonasi nina bobo.

Topiknya ekonomi, topik yang penting bagi dompet 240 juta orang tapi kerap dihindari kebanyakan orang karena cenderung njlimet. Apalagi jika cuaca mendukung untuk meringkuk di balik selimut.

Atmosfer pada debat kedua terkesan lebih santai ketimbang yang pertama. Kedua calon saling tertawa, melempar senyum, bahkan ada momen di mana Prabowo—setia dengan safari putih—melintas panggung, menghampiri Jokowi--dibalut jas hitam—mengatakan sepaham dengan Gubernur DKI terkait ekonomi kreatif.

Kesamaan keduanya tidak berhenti di situ.

Saat ditanya mengenai utang luar negeri, Jokowi mengatakan e-budgeting dan e-procurement yang ia rencanakan akan membuat belanja negara lebih efektif. Sisa anggaran lantas bisa digunakan untuk mengurangi utang.

Utang untuk apa?

Saat kecil, kita diajar untuk tidak berutang. Ajaran tersebut dipertegas kala ekonomi kita lumpuh pada 1998—akibat banyak perusahaan gagal bayar.

Manusia tanpa utang memang manusia paling tentram, tapi mari kita coba jujur menjawab: berapa banyak yang membeli rumah, mobil, motor secara tunai?

Bukankah mayoritas kita—yang beruntung memiliki penghasilan cukup—mengambil kredit?

Apakah salah, jika kita hanya memiliki uang muka, lantas mengambil KPR demi memiliki papan yang kini makin mahal?

Apa salah jika kita mencicil kendaraan agar dagangan yang bisa diangkut lebih banyak?

Lantas kenapa seakan-akan negara berdosa sekali kalau ngutang? Memang saat krisis 1998 utang IMF membuat kita tercekik. Tapi utang jumbo itu sudah lunas terbayar dalam periode pertama pemerintahan SBY. (SBY ada bagusnya juga lho).

Malahan, jumlah utang kita terhitung teramat baik dibanding kebanyakan negara dewasa ini. Saat disandingkan dengan produk domestik bruto, gabungan utang pemerintah dan swasta ke pihak asing hanya 24%. Tetangga kita, Malaysia, di atas 50%.

Sederhananya, bayangkan penghasilan Anda Rp. 2 juta dan utang Anda tidak sampai Rp. 500 ribu (angsuran hanya di belasan ribu rupiah), nah itulah posisi utang luar negeri kita. Utang gabungan lho ya, jadi utang pemerintah dan utang perusahaan-perusahaan kita.

Jika Jokowi memang ingin membuat ‘tol laut’—bangun pelabuhan dan perbanyak kapal—agar harga semen di Papua tidak sampai 25 kali lipat harga di Jawa, mau tak mau harus ngutang.

Weks?! Kan ada APBN?

Anggaran untuk infrastruktur tahun ini menembus angka Rp 200 triliun. Sekilas nampak wah. Tapi ingat, membangun ‘New Tanjung Priok’ saja butuh Rp. 23 triliun. Masih ada Belawan (Sumut), Bakauheni (Lampung), Tanjung Mas (Jateng), Tanjung Perak (Jatim), Palangkaraya (Kalteng), Banjarmasin (Kalsel), Makassar (Sulsel), Sorong (Papua Barat) dan Merauke (Papua).

Di luar daftar tersebut, masih ada pelabuhan-pelabuhan seperti Jambi, Bengkulu, Cirebon, Kupang, Maumere, Palu, Bitung, Buton, Ambon, serta Manokwari yang perlu dikembangkan.

Biaya makin membengkak karena membangun rel KA—juga prioritas Jokowi—bisa mencapai Rp. 25 miliar per kilometer. Selain itu masih perlu membuat jembatan, menambah jalan, bikin bendungan dan jaringan irigasi. Juga perluasan bandara-bandara utama dan membangun bandara yang kecil-kecil.

Oh ya, kita juga butuh banyak pembangkit listrik, kecuali mau byar-pet terus-terusan. Ups, hampir kelupaan: MRT Jakarta, plus Surabaya dan Bandung.

Masih yakin APBN sekarang cukup? Kalau tidak cukup, kenapa juga ngga ngutang?

Berarti ngutang yang banyak biar gas pol …

Itu konsep yang ditawarkan tim ekonomi Prabowo. Problem infrastruktur kita sudah segitu parahnya, sedangkan persaingan dunia sudah segitu ketat—mosok lebih murah impor jeruk ketimbang kirim jeruk Pontianak ke Jawa.

Oleh karena itu pembangunan infrastruktur harus dikebut habis-habisan. Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, baru-baru ini mengatakan utang luar negeri Indonesia perlu diperbesar hingga 50% terhadap PDB. Dua kali lipat level saat ini.

Biaya bunga utang hari ini jauh lebih murah ketimbang 10 tahun lampau, jadi tidak akan terlalu membebani. Logis kan?

Di titik ini, analogi makanan cocok. Sedikit bikin lapar, kebanyakan bikin penyakit.

Jika utang melesat cepat, maka yang ngutangi jadi harap-harap cemas: kira-kira bisa mbayar ga yah.

Dalam dunia kredit, ada istilah credit default swap. Cara kerja CDS ini mirip asuransi kendaraan. Kalau Anda mencicil kendaraan bekas, asuransinya lebih mahal ketimbang kalau Anda mengangsur kendaraan baru. Kendaraan baru kemungkinan rusak lebih kecil, jadi asuransinya lebih murah.

CDS juga begitu: semakin tinggi resiko, semakin tinggi pula spreadnya. Spread Indonesia sudah membaik, sejak awal tahun ini sudah turun 90 poin. Sayang, meski sudah turun jauh, spread CDS kita masih bertengger di 144 (per Jumat 13 Juni).

Malaysia, yang utangnya lebih banyak, hanya di tingkat 85. Bahkan Thailand yang habis kudeta masih lebih rendah di 114.

Kok aneh?

Akibat gagal bayar perusahaan-perusahaan kita jaman pada 1998, banyak peminjam di luar sana yang masih ragu. Pada saat krisis tersebut, ada perusahaan-perusahaan Malaysia dan Thailand yang juga gagal bayar, tapi jumlahnya jauh lebih kecil dibanding Indonesia.

Persepsi terhadap Indonesia saat ini—meski sudah mengalami kemajuan—masih lebih buruk ketimbang negara-negara tetangga kita. Satu-satunya cara agar citra kita menjadi sangat positif adalah dengan pembuktian bahwa kita memang tidak asal-asalan membuat komitmen. Tidak cukup pembuktian sekali, dua kali, tiga kali, tapi bertahun-tahun.

Sekelumit fenomena di dunia kredit tersebut sebenarnya mengilustrasikan sesuatu yang mendasar dan sangat manusiawi: masa lalu kita berdampak pada masa kini dan rencana-rencana kita untuk masa depan.

Debat Ahad sejatinya berusaha mengupas pandangan serta strategi ekonomi kedua capres untuk Indonesia lima tahun mendatang. Sayang, sedikit sekali detil langkah-langkah untuk mewujudkan visi-misi masing-masing.

Setidaknya ajang kemarin menunjukkan bagaimana kedua kandidat gagal paham utang!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline