Lihat ke Halaman Asli

Konsumen Cinta?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat dengan  obrolan beberapa hari yang lalu  bertempat di SC. Kami sedang mengadakan  diskusi untuk membahas rencana kegiatan baru,  diskusi publik. Segala sesuatu yang menyangkut tema dikupas bahkan terkadang pembicaraan jadi melebar.  Disini, saya tidak akan berbicara terkait rencana pembentukan arah diskusi. Ada sesuatu yang menarik, selentingan seorang teman – tanpa sengaja saya mendengar ungkapan baru itu 'konsumen cinta'.

Yang menarik dan teringat di benak saya adalah dua kata itu, ditambah ada istilah baru lagi yang hangat mampir di telinga saya, yakni istilah 'kapitalisme cinta'. Wow,  pikiran saya selalu beranggapan bahwa cinta adalah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang tak bisa dinilai dengan uang atau lebih nyatanya tak bisa dilihat, apalagi diperdagangkan.

Ternyata, saya terlalu naïf dalam memaknai kata cinta. Sudah sebegitu jauh perjalanan dan perubahan pemaknaan kata itu sehingga saya ketinggalan. Rupanya cinta sudah sepadan dengan barang dagangan, cinta serupa ancaman baru – kapitalis yang bergerilya menghantui para pemuda yang sedang dilanda asmara.

Oke, biar lebih jelas mari kita urai satu persatu sesuatu yang berdiri dibalik istilah itu. Menjabarkan siapa aktor yang bermain di dalamnya. Kemunculan istilah 'konsumen cinta' tidak datang dengan sendirinya. Ada aksi atau fenomena yang melatar belakangi munculnya frase tersebut. Wajarnya, orang jatuh cinta terdiri atas  laki-laki dan perempuan dengan perantara yang menyatukan keduanya, rasa itu bernama cinta. Tetapi, bila ditilik sekarang cinta tak lagi berperan tunggal, dia  muncul dengan wajah-wajah baru. Wajah palsu yang mengatasnamakan cinta.

Ketika mendengar kata wanita (yang berpacaran) seringkali tataran fisik dan kekayaan adalah ukuran utama. Dan laki-laki selalu identik dengan seorang yang datang (dengan membawa sejuta tawaran), baik itu kekayaan, kendaraan maupun hadiah-hadiah yang mengejutkan. Yang satu menawarkan kemolekannya, istilah kerennya tebar pesona, dan yang satunya lagi datang dan siap menyatakan maksud untuk memiliki (baca:membeli). Mungkinkah seperti itu maksud gabungan dua kata itu saat diskusi terjadi di universitas tetangga? Karena saya cuma mendengar sempilannya saja, tidak tahu seperti apa pemaknaan mereka yang sebenarnya. Seandainya bukan, biarlah ini sekedar konspirasi kecil antara saya dan pikiran.

Saya kerap mendengar obrolan beberapa teman – laki-laki atau perempuan ketika berada di kantin maupun saat duduk-duduk santai. Mereka membicarakan lawan jenis yang disukai  seperti membicarakan barang dagangan. Si wanita menelanjangi satu persatu kekayaan semisal merek kendaraan atau ponsel, bentuk fisik dan keunggulan lain yang terlihat oleh tangkapan matanya. Dan semua 'kekaguman' yang dia lontarkan seolah telah merepresentasikan bahwa dia cinta dengan lelaki idamannya itu. Nah loh? Gampang sekali mengukur  perasaan cinta?

Tak kalah si lelaki membicarakan bentuk fisik si gadis, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lewat penilaian secara fisik tersebut  dengan mudahnya dia mengikrarkan diri cinta pada si gadis.

Saya jadi bertanya-tanya, cukupkan esensi cinta hanya berhenti sampai disitu saja? Melalui penilaian-penilaian fisik belaka. Ketika si gadis menuntut setiap keinginannya harus dipenuhi tanpa memedulikan kemampuan finansial si lelaki.

Lalu salah satu pihak harus diperhatikan setiap waktu, setiap tempat bahkan terlalu berlebihan dengan dalih 'pembuaktian cinta'. Oh, saya pikir itu terlalu menyiksa sekali.

Konsumen cinta bertebaran dimana-mana. Tak mengenal kasta dan rupa. Selanjutnya, para kapitalis cintalah yang memanfaatkan kesempatan. Memperdaya siapa yang tengah lemah dan terlena. Mereka hadir dengan berbagai pesona yang menjanjikan, menjadikan harta sebagai patokan utama. Lobi-lobi dimulai, siapa yang lebih berada dia yang memenangkan pertarungan cinta, meski ada si miskin dengan tulus mencintai, tidak berarti dimata kapitalis cinta. Makna cinta telah terkontaminasi oleh dominasi kepentingan sendiri – siapa yang menguntungkan dialah yang terpilih. Kasihan cinta, namamu serupa simbol semata.

Penulis sekedar sedikit berbagi kata.Mengusik sebentar kata cinta yang tak asing lagi di telinga. Cinta pada siapapun dan apapun jika disertai ketulusan akan menumbuhkan harmoni yang menciptakan kehidupan di dunia damai penuh kasih sayang. Biarkanlah cinta berjalan apa adanya, biarkan dia memilih tanpa diskriminasi. Dan nantinya kembali lagi pada Sang Pencipta cinta, cinta yang tersempurna diantara yang paling sempurnya, dialah cinta Sang Illahi…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline