Lihat ke Halaman Asli

Manusia Hasil Gegar Budaya

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah gegar budaya atau yang lebih dikenal dengan cultural shock erat kaitannya dengan kondisi psikologis seseorang. Memiliki takaran berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Seberapa besar benturan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh pengalaman orang saat berinteraksi dengan masyarakat di luar komunitasnya atau budaya daerah lain. Apabila intensitas interaksi seringkali terjadi maka dapat dipastikan seseorang akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan atau situasi baru yang ditemuinya. Dengan kata lain individu ini memiliki kemampuan lebih dalam meminimalisir benturan budaya. Sebaliknya, seseorang yang jarang atau belum pernah keluar dari tempat asalnya akan lebih kesulitan dalam memahami keadaan ketika dia dihadapkan pada situasi baru. Maka, tak heran bila serangan gegar budaya rentan dialami oleh mereka.

Walaupun awalnya mengalami shock cultural, tapi jangan beranggapan bahwa ketegangan terjadi secara terus-menerus. Karena, suatu ketika kecanggungan ini perlahan akan mereda dan selanjutnya memiliki beberapa kemungkinan : apakah dia akan terbawa olehkebiasaan baru tersebut atau serta merta akan menolak dan tetap mempertahankan apa yang selama ini diketahui dan dipegannya. Kemungkinan ini pun tidak menjadi keputusan mutlak, barangkali ada alasan lain diluar benturan yang menjadikan dia ikut terbawa atau menolak. Seperti pertimbangan adanya nilai positif dalam kebiasaan baru (lebih baik dari budaya dia sebelumnya), sehingga secara sadar dia melakukan perubahan dan beralih kepada budaya baru. Pengikutan budaya seperti ini berbeda dengan orang-orang yang istilahnya hanya menjadi pengekor saja. Dengan alasan terlanjur menjadi kaum minoritas, maka tanpa alasan jelas dia ikut saja melebur bersama budaya baru tanpa terlebih dahulu melakukan penyaringan dan mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Untuk lebih memahami tentang gegar budaya, kita dapat melihat langsung pada realitas-realitas sosial yang terjadi. Barangkali anda pernah mendengar atau bahkan melihat dengan mata kepala sendiri, semisal beberapa orang (nantinya secara jamak pula mayoritas dari mereka mengalami cultural shock saat tiba di kota) yang tinggal di Desa X* merantau ke kota besar Jakarta untuk tujuan memperbaiki nasib dengan mencari pekerjaan yang lebih layak dan menjanjikan.Setelah mantap melakukan persiapan, para tetangga Desa Xtersebut secara bersamaan pergi ke kota besar untuk pertama kalinya. Awalanya saat berangkat mereka adalah orang-orang biasa dengan penampilan biasa pula, istilah Jawanya ora neko-neko. Si pria dengan tampilan kasual tanpa aksesoris, juga wanita dengan penampilan standar tanpa make up berlebihan. Ditambah tingkah laku atau unggah ungguh serta logat daerah masih melekat erat padanya.

Beberapa waktu kemudian, sepulang mereka dari perantauan didapati variasi perubahan pada orang-orang urban tersebut. Tingkah laku serta apa yang ada pada mereka mengalami perubahan secara variatif. Terlebih pada saat hari raya tiba adalah musim-musim para perantau pulang ke kampung halaman. Waktu-waktu seperti ini tepat digunakan untuk melakukan pengamatan. Baik pengamatan secara fisik maupun sisi psikologis. Ada yang berpenampilan bak artis-artis ibukota : rambut dicat dan direbonding, kuku di cat, serta pakaian yang serba mencolok dan minim mirip pemain sinetron di televisi. Sedang untuk para lelaki, turut pula mereka melakukan perubahan, apa yang lagi nge trend di kota meskipun terlihat nyeleneh akan tetap ditiru dan dibawa pulang ke desa. Apabila ada tetangga lain yang mengingatkan, para tetangga Desa X yang dulunya lugu ini berdalih bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah bagian dari kemajuan zaman. Agar tak ketinggalan maka mereka mempermak habis-habisan dirinya. Hingga mereka melupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di desa selama ini, semisal moral, nilai kesopanan dan nilai keagamaan. Tak luput, sisi dialek dan gaya hidup pun mengalami perubahan drastis. Apa-apa yangdikonsumsi, cara-cara mereka bergaul yang cenderung bebas adalah hasil adaptasi yang dibawa dari kota. Juga, cara mereka berkomunikasi mengalami perubahan dari penggunaan bahasa ibu menuju pemakaian dialek ala Jakarta.

Memang tidak semua yang mengalami gegar budaya kemudian berubah sedrastis penjelasan di atas. Ditekakan lagi ada tiga tipe manusia setelah terjadinya gegar budaya. Pertama, tipe kaku. Walau dikatakan kaku, bukan berarti tidak mengalami perubahan samasekali. Pengertian ini cara mengukurnya adalah dengan membuat perbandingan perubahan antara budaya asli yang dia bawa dengan budaya lain yang dia temui. Apabila perubahan kurang dari 50% atau bahkan sedikit sekali mempengaruhi dirinya, maka bisa dikategorikan tipe kaku. Tipe ini seringkali saya temukan pada orang-orang tua yang berusia di atas 40 tahun. Pada saat menemui budaya baru semisal menemui anak-anak atau cucu mereka bertingkah atau berpenampilan tidak sesuai pada zaman dia muda, maka golongan ini lebih cenderung kaku dengan melakukan penolakan atau bersikap kontradiktif. Sehingga, tak jarang terjadi konflik antara orang tua dan anak tentang permasalahan ini. Padahal, apabila terjadi kesalingpahaman antara satu sama lain tidak akan terjadi ketegangan atau paling tidak meminimalisirnya.

Kedua,Tipe labil. Contoh dari tipe ini telah jelas diterangkan pada uraian di atas. Tentang para tetangga Desa X yang tengah mengalami kelabilan saat menemui benturan budaya di kota. Selain itu, orang-orang yang rentan menjadi pengikut budaya baru (karena jarang melakukan adaptasi dengan kebiasaan masyarakat lain) juga masuk ke dalam kategori ini.

Ketiga, Tipe bijak. Adalah orang-orang yang ketika menemui budaya baru kemudian mengalami benturan tidak serta merta langsung menolak atau menelannya secara mentah-mentah. Individu yang masuk pada tipe ini biasanya adalah orang-orang yang berpendidikan yang memiliki wawasan luas. Orang-orang yang dengan bijak lebih bisa mempertimbangkan dan melakukan penilaian terhadap hal-hal baru yang ditemuinya. Orang-orang yang bertipe ini tidak gampang terbawa arus. Apabila memutuskan untuk menerima suatu kebiasaan baru pastilah memiliki alasan yang jelas. Contoh dari tipe ini adalah ketika mereka dibenturkan dengan gegar budaya media. Adanya internet sebenarnya dapat menjadi tolak ukur penunjukan ketiga tipe sekaligus. Dan ketika budaya baru bernama internet tersebut berhasil diadaptasi dan dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang tertentu, kemudian menjadikan pribadi mereka lebih berkualitas, maka masuklah mereka pada tipe ketiga ini. Berbeda dengan kedua tipe sebelumnya, tipe ini mampu memilah nilai-nila budaya mana yang bermanfaat dan mana tidak perlu diikuti. Menempa diri dengan berbagai benturan, baik itu gegar budaya atau permasalahan sosial lainya merupakan proses awal dari sebuah penguatan pribadi. Perjalanan menuju pendewasaan memang tidak terjadi secara instan. Barangkali adanya tipe kaku atau tipe labil adalah merupakan bagian dari proses menuju tipe ketiga, yakni orang-orang bijak dan dewasa dalam menghadapi setiap perubahan, semoga.

*Contoh Desa X diambil dari realitas tetangga-tetangga penulis yang merantau kemudian mengalami cultural shock di ibukota.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline