Lihat ke Halaman Asli

Ujian Nasional, Masih Perlukah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasionalnomor20 tahun 2003.

Undang undang tersebut menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional, maka dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan. Hasil evaluasi akan dijadikan dasar perubahan sistem ujian ke arah yang lebih baik, dan hal tersebut secara otomatis juga akan mengubah metode pembelajaran ke arah yang lebih baik. Berubahnya metode pembelajaran tersebut pada akhirnya akan dapat memenuhi mutu pendidikan.

Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk mandated examination (ujian yang diamanatkan atau di bawah pengawasan) yang didesain untuk menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan sistem pendidikan, bukan pencapaian individu tertentu. Menurut Miller (2009), mandated examination memiliki beberapa kegunaan, yaitu:

·Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pendidikan untuk mendeteksi kelemahan yang dimiliki.

·Sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan.

·Memberikan informasi mengenai kondisi terkini dan kemajuan peserta didik serta kualitas sekolah.

·Memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan peserta didik untuk berusaha lebih baik.

Menurut Kellaghan dan Greaney (2001), tujuan pelaksanaan ujian negara adalah sebagai berikut :

·Meningkatkan standar pendidikan untuk menjawab kebutuhan lapangan kerja

·Untuk mempertahankan standar pendidikan yang sudah dimiliki.

·Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan terkait dengan alokasi sumber daya pembelajaran untuk sistem pendidikan secara umum, sekolah-sekolah yang memiliki karakteristik khusus dan sekolah berprestasi.

·Untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menetapkan akuntabilitas prestasi belajar peserta didik.

·Ujian negara dilakukan sebagai bagian dalam gerakan modernisasi, di bawah pengaruh pemberi modal, yang tidak terlalu memperhatikan kesinambungan dan tidak memahami bagaimana memanfaatkan informasi yang diperoleh.

·Untuk mengubah keseimbangan pengawasan dalam sistem pendidikan.

·Untuk mengimbangi lemahnya praktek penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh para guru.

Dalam pelaksanaannya, sistem ujian akhir memang tidak pernah lepas dari evaluasi dan penyempurnaan. Sejarah mencatat beberapa kali perubahan sistem ujian hingga saat ini kita mengenalnya sebagai UN.

·Tahun 1965-1971. Sistem ujian akhir yang dilaksanakan disebut Ujian Negara dan berlaku untuk semua mata pelajaran. Pada periode ini, ujian masih tersentralisasi sehingga pelaksanaannya masih ditetapkan oleh pemerintah pusat.

·Tahun 1972-1979. Pada periode ini, ujian negara dihapuskan dan diganti dengan ujian sekolah. Sistem ini memberikan kewenangan pada tiap sekolah untuk menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil pun diserahkan kepada pihak sekolah. Peran pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman ujian yang bersifat umum.

·Tahun 1980-2000 diberlakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Sistem ini diterapkan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta memperoleh indikator (nilai) yang bermakna “seragam” agar dapat menjadi bahan perbandingan antar sekolah. Dalam penyelenggaraannya, Ebtanas dirasakan mempunyai banyak kelemahan baik dari segi akademis maupun teknis penyelenggaraan. Kelemahan-kelemahan yang dijumpai, antara lain:

(a) ketidakmampuan mengukur pencapaian prestasi akademik secara komprehensif

(b) pengujian dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang singkat

(c) proses pembelajaran tereduksi dan hanya berorientasi pada Ebtanas,

(d) Ebtanas hanya mampu mengumpulkan informasi terkait dengan kemampuan kognitif saja.

·Tahun 2001-2004. Mengingat kelemahan-kelemahan yang muncul akibat Ebtanas, pada periode ini sistem ujian akhir diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara Ebtanas dengan UAN ada pada cara penentuan kelulusan siswa. Dalam Ebtanas, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi antara nilai semester I, nilai semester II dan nilai Ebtanas murni. Sedangkan dalam UAN, kelulusan siswa ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.

·Tahun 2005-sekarang. Untuk mendorong tercapainya wajib belajar yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan ujian nasional untuk tingkat SMP dan SMA atau sederajat. Sedangkan untuk tingkat SD atau sederajat Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) baru diterapkan pada tahun 2008 dan kini nama yang digunakan adalah UN.

Seperti yang kita ketahui, pelaksanaan Ujian Nasional setiap tahunnya selalu menuai pro kontra. Berikut adalah sisi negatif dari pelaksanaan Ujian Nasional :


  1. Masih diwarnai kecurangan

Meskipun pelaksanaan Ujian Nasional selalu mengalami evaluasi di setiap tahunnya, namun praktek kecurangan masih belum mampu dihindari. Pelaksanaan Ujian Nasional pada tahun 2013 lalu contohnya, meskipun jumlah paket soal telah diperbanyak menjadi 20 paket dengan maksud meminimalisir kecurangan, namun isu tentang kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban, serta praktek contek mencontek di dalam ruang ujian yang dilakukan siswa masih saja terjadi. Hal tersebut dapat terjadi karena memang kualitas (prestige) suatu sekolah masih dinilai dari tingkat kelulusan siswanya, sehingga banyak sekolah yang menghalalkan praktek kecurangan terjadi dalam Ujian Nasional. Tidak sedikit sekolah yang memberikan ‘uang pelicin’ kepada pengawas ujian. Tujuannya jelas, agar pengawas tersebut memberikan sedikit keleluasaan bagi peserta didik untuk melakukan aksi contek mencontek. Beberapa sekolah bahkan ada yang nekat memberikan kunci jawaban kepada anak didiknya dengan berbagai teknis. Kecurangan-kecurangan tersebut rela dilakukan hanya karena satu alasan : menyelamatkan harga diri sekolah tersebut ! Padahal, seperti yang telah dibahas sebelumnya, tujuan pelaksanaan Ujian Nasional salah satunya adalah untuk menilai dan mengevaluasi tingkat keberhasilan suatu sistem pendidikan. Apabila proses evaluasinya saja tidak berlangsung secara jujur, maka cukup jelas bahwa tingkat keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan oleh angka statistik keberhasilan Ujian Nasional sebenarnya semu.




  1. Membutuhkan biaya yang besar

Ujian Nasional dilaksanakan setiap tahun, dan setiap tahun pula tujuan utama pelaksanaan Ujian Nasional tersebut kembali tidak tercapai dikarenakan praktek kecurangan yang belum bisa dihindari. Padahal, untuk melaksanakan Ujian Nasional pada setiap tahunnya, rata-rata dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp 438 miliar . Bahkan pada tahun 2012-2013, akibat penyimpangan penyelenggaraan Ujian Nasional dan kelemahan perencanaan UN, negara menanggung kerugian hingga Rp 2,7 miliar (data Badan Pengawas Keuangan). Jumlah dana tersebut dianggap sebagai pemborosan mengingat jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk setiap pelaksanaan Ujian Nasional tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Hasil Ujian Nasional yang masih diwarnai praktek kecurangan dianggap belum mampu menggambarkan keadaan sebenarnya dari kualitas sistem pendidikan di Indonesia.




  1. Sistem Ujian Nasional hanya menilai kualitas pendidikan secara keseluruhan

Tujuan pelaksanaan Ujian Nasional adalah untuk menilai kualitas pendidikan secara nasional. Ujian Nasional memang sengaja didesain untuk menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan pendidikan, bukan untuk menggambarkan tingkat pencapaian secara individu. Padahal, kualitas pendidikan dan tingkat pencapaian di seluruh wilayah Indonesia jelas berbeda. Dapat kita lihat bahwa kualitas pendidikan (dari segi fasilitas yang tersedia, kualitas guru, dan lain-lain) di kota besar memiliki standar yang berbeda dengan kualitas pendidikan di wilayah pedalaman. Rasanya tidak adil jika suatu sistem pendidikan dengan standar kualitas yang berbeda harus distandarisasi dengan cara yang sama, yaitu dengan Ujian Nasional. Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai standar evaluasi secara nasional hanya jika fasilitas pendidikan yang memadai, kualitas guru yang kompeten dapat tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.


  1. Ujian Nasional belum mampu mencapai tujuan pendidikan nasional

Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang dimaksud cerdas dalam hal ini tidak hanya cerdas secara kognitif, namun juga cerdas secara karakter. Namun sayangnya, sistem evaluasi pendidikan seperti Ujian Nasional telah membuat para siswa, guru, pihak sekolah, bahkan orang tua lebih memilih kelulusan dan nilai tinggi daripada mengedepankan nilai-nilai kejujuran. Kelulusan yang dicapai seharusnya berjalan beriringan dengan kejujuran dalam pelaksanaannya. Pola pikir masyarakat yang mengesampingkan kejujuran hanya untuk kelulusan merupakan tanda bahwa sistem Ujian Nasional masih belum mampu mencapai tujuan pendidikan, yaitu untuk menghasilkan generasi yang juga cerdas karakter.




  1. Ujian Nasional menghambat kreativitas siswa

Sistem evaluasi akan berpengaruh pada sistem pendidikan yang akan diterapkan. Ujian Nasional yang selalu menjadi momok bagi siswa menyebabkan proses belajar mengajar hanya terfokus pada materi-materi yang diujikan pada Ujian Nasional. Hal tersebut jelas akan menghambat kreativitas siswa. Padahal, yang dibutuhkan anak didik sebenarnya bukanlah kemampuan untuk menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional saja, namun lebih dari itu. Kreativitas, kemampuan menyelesaikan masalah, juga dibutuhkan oleh anak didik untuk meningkatkan daya saingnya dalam dunia kerja.




  1. Ujian Nasional hanya dapat mengembangkan kecerdasan kognitif siswa

Terdapat 4 prinsip penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran, salah satunya adalah bahwa penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan bersifat komprehensif (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik), sedangkan sistem Ujian Nasional saat ini dianggap hanya dapat mengembangkan kecerdasan kognitif peserta didik. Akibatnya, hasil yang diperoleh menjadi tidak objektif dan tidak benar-benar menggambarkan prestasi dan kemampuan peserta didik.




  1. Ujian Nasional tidak sesuai dengan sistem penilaian pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Meskipun Kurikulum 2013 sudah mulai diterapkan, namun terdapat beberapa sekolah yang masih menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam KTSP, sistem penilaian yang digunakan berbasis kelas, artinya penilaian yang otentik (autentic assesment) adalah penilaian saat proses pembelajaran berlangsung yang

pelaksanaannya diserahkan kepada sekolah atau guru sesuai dengan kondisi sekolah yang ada. Hal ini tidak sesuai dengan sistem penilaian Ujian Nasional yang lebih menekankan pada hasil (bukan proses), dan dilakukan secara menyeluruh (bukan tergantung dengan kondisi sekolah masing-masing).




  1. Ujian Nasional hanya bersifat penilaian sesaat

Dalam sistem Ujian Nasional, proses evaluasi terhadap hasil belajar hanya dilakukan selama beberapa hari. Penilaian yang hanya berlangsung selama beberapa hari tersebut dianggap tidak adil mengingat proses belajar mengajar yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Sering kita menjumpai kasus-kasus bahwa peserta didik yang biasanya dianggap pandai dan berproses dengan baik, justru gagal dalam Ujian Nasional, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, sistem Ujian Nasional masih dianggap sebagai sistem penilaian yang hanya bersifat sesaat.




  1. Batas kelulusan Ujian Nasional ditentukan sama untuk setiap mata pelajaran

Batas kelulusan Ujian Nasional ditentukan sama untuk setiap mata pelajaran. Padahal karakteristik mata pelajaran dan kemampuan peserta didik tidaklah sama. Hal itu tidak menjadi pertimbangan para pengambil keputusan pendidikan. Belum tentu dalam satu jenjang pendidikan tertentu, tiap mata pelajaran memiliki standar yang sama sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Ada mata pelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi minimum yang tinggi, sementara mata pelajaran lain menentukan tidak setinggi itu. Keadaan ini menjadi tidak adil bagi peserta didik, karena dituntut melebihi kapasitas kemampuan maksimalnya.

Meskipun pelaksanaan Ujian Nasional menuai banyak kritik, namun Ujian Nasional juga memiliki sisi positif. Berikut ini adalah alasan-alasan yang membuat pelaksanaan Ujian Nasional masih dipertahankan :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline