Lihat ke Halaman Asli

Di Atas Tanah yang Keras

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di atas Tanah yang keras dan tidak rata, dengan beralas selembar tikar tipis, pria paruh baya itu terbaring tidak berdaya, bukan di jalan atau di ruang terbuka pria ini berbaring, tetapi di rumahnya, sebuah rumah tua, tanpa langit-langit rumah, hanya beratapkan genteng tua yang sudah mulai rusak disana-sini, bahkan lantainya pun hanyalah tanah keras persis seperti sebelum rumah itu dibangun.

Jelas terlihat kakinya yang sudah setengah menghitam, sepotong ibu jari kaki tampak tergantung di kakinya, bukan jari kaki yang menempel seperti biasa, tapi ini mengantung, seperti  daun tua yang mengantung pada pohonnya, yang setiap saat bisa rontok di terpa angin, untung tidak ada angin di dalam rumah, pikirku sambil berusaha untuk menahan diri melihat pemandangan yang begitu memilukan.

Ini pertama kalinya aku melihat pemandangan yang begitu memilukan sepanjang hidupku, melihat kondisi rumah pak tua ini, membuatku teringat pada masa kecilku, masa-masa ketika kami sekeluarga harus tinggal di rumah yang beralaskan tanah, kami sekeluarga adik, kakak, mama, papa dan aku harus berdesak-desakan di dalam sebuah rumah yang sempit, kondisi kami waktu itu mungkin tidak jauh berbeda dengan pria paruh baya ini, tapi kami masih sangat beruntung, karena kebersamaan keluarga membuat kami hidup bahagia walaupun dalam kekurangan materi.

Kini masa-masa sulit itu telah lewat, kami telah pindah ke kota besar Jakarta, rumah yang kami tempati kinipun sudah layak seperti rumah-rumah kebanyakan, tetapi ditengah kota Jakarta ini, ditengah-tengah kemegahan gedung pencakar langit, masih bisa aku jumpai rumah dengan lantai beralaskan tanah, sejuta perasaan muncul dan menguncang bathin, guncangan yang telah membangunkan diriku untuk melihat kenyataan hidup, kalau di luar sana, didalam gang-gang sempit, di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit, masih ada satu kelompok masyarakat yang hidup dalam keterbatasan, yang memerlukan uluran tangan dari kita semua.

Pemandangan yang membawa aku kejalan kerelawanan, bersumbangsih bersama teman-teman seperjuangan, meniti jalan yang membawa harapan bagi orang lain yang memerlukan, terima-kasih pak tua yang telah menunjukkan jalan ini bagiku.

Kisah ini ditulis berdasarkan kisah yang penulis lihat dan dengar dari relawan yang kini telah menjadi salah-satu relawan yang paling aktif di jalan amal kemanusiaan.

“Lahan yang ditanami sayuran tidak akan mudah ditumbuhi rerumputan, dalam hati yang mengandung niat baik tidak akan mudah timbul niat jahat.” Master Cheng Yen.

Oleh: IEA hong




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline