Lihat ke Halaman Asli

Monik dan PR Matematikanya

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_234129" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (www.shutterstock.com)"][/caption]

“aaah….masa gini aja ga bisa! Nih..kalo tambah, ditambah jarinya, kalo kurang diambil jarinya. ” suara keras yang terdengar siang itu. Saya yakin, ini pasti suara tetangga saya yang sedang mengajari anaknya membuat PR. Suaranya keras sekali, hingga terdengar sampai ke rumah senyum kami yang berjarak 2 rumah dari rumahnya. Sudah lama saya ingin “menangani” kasus ini, tapi kesulitan menemukan momen yang tepat untuk “masuk”.

Anak ini, sebut saja bernama Monik, masih berusia 6 tahun. Ia kelas 1 SD di sebuah SD negeri, dan baru sebulan masuk sekolah. Bapak ibunya, sekilas terlihat lembut. Tapi kepada anaknya, ganasnya bukan main. Seringkali bapak ibunya memarahi dan membentak anaknya dengan keras karena hal-hal sepele, padahal anaknya baru berusia 6 dan 3 tahun.

Seminggu bersekolah, Monik sempat demam tinggi karena stress berat. Ketika masih beradaptasi di sekolah barunya, ia Dipaksa belajar keras, diberikan PR bejibun dan mendapat tekanan berlebih dari orang tuanya. Ia dipaksa mengerjakan PR berbentuk LKS yang sangat tidak tepat untuk diberikan pada anak usia dini seusianya. Wajar, ketika itu ia menjadi stress berat. Padahal ia adalah anak yang pintar dan cerdas. Saya tahu, karena setiap hari Monik bermain dan membaca buku di Rumah Senyum kami. Yup betul, ketika itu ia sudah bisa membaca dan berhitung.

Kembali ke hari itu. Saya mencari akal bagaimana melakukan intervensi pada Monik dan ibunya. Akhirnya, saya berpura-pura mengajak Gaza anak saya jalan-jalan dan melewati rumahnya. Ketika lewat, saya langsung berkomentar “wah kakak monik lagi belajar tuh gaza! kak Monik belajar apa?”. Ibunya langsung menyahut dengan keras “lagi belajar tambah-tambahan dan pengurangan nih kak. Masa gini aja ga bisa!? Dari tadi diajarin ga bisa-bisa!”. Monik hanya terdiam dengan muka pucat dan takut. Apakah ada yang salah ketika ia belum menguasai penambahan dan pengurangan? Wajar bukan? Ia baru sebulan masuk sekolah dasar, wajar kalau belum menguasai penambahan-pengurangan. Seharusnya anak di awal masuk sekolah masih belajar beradaptasi dan matematikanya pun masih berhitung sederhana. Kalaupun belajar tambah-kurang, bentuknya harus real dan kongkret. Karena tahapan kognitifnya masih operasional kongkret. Ia akan kesulitan untuk memproses informasi yang abstrak. Misal, satu apel ditambah satu apel, atau dua jeruk dikurang satu jeruk. Bukan dengan “1+1=…, “2-1=…” bahkan sudah “7-7=……”. Tambah stress lah ia.

Saya pun bilang “coba kak Idzma lihat”. Sambil saya masuk ke dalam rumahnya. Si Ibu, perhatiannya langsung beralih ke Gaza. Dan mengajak main Gaza. Bagus, jadi saya bisa mengintervensi Monik dengan bebas.

Apa yang saya lakukan? Sederhana. Saya menjelaskan sedikit prinsip tambah kurang dengan menggunakan bantuan pulpen dan jarinya agar kongkrit. Kalo tambah, jarinya dibuka. Kalo kurang jarinya dilipat, Sederhana. Lalu kemudian mendampingi ia mengerjakan PR menggunakan teknik menghitung yang saya ajarkan. Setiap ia berhasil mengerjakan satu nomor, saya memotivasinya dengan mengatakan, “Monik pintar ya”, “hebat nih, jagoan matematikanya”, “siiiip, gampang kan”, “asyik kan belajar matematik?” dan kalimat-kalimat motivasi lainnya. Hasilnya? Perlahan muka Monik semakin cerah. Senyum manisnya kembali muncul. Percaya dirinya meningkat dan akhirnya ia dapat mengerjakan PRnya dengan cepat. Setelah PRnya selesai, saya kembalimemotivasi dengan kalimat-kalimat motivasi. Dan ia pun semakin cerah dan tersenyum manis.

Apakah saya berhasil mangajari Monik matematika? Jawabannya adalah TIDAK! Kenapa? Karena sebenarnya Monik sudah mengerti hal tersebut. Yang saya lakukan hanyalah mengubah pendekatannya saja. Saya hanya memotivasi dia dan menempatkannya dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan. Saya munculkan potensinya, Sehingga potensinya bisa berkembang optimal. Caranya sederhana, bukan?

Bagaimana dengan ibunya? Sambil main dengan Gaza, ibunya tetap memperhatikan apa yang saya lakukan. Dan akhirnya berkata ”iya nih kak, pelajaran SD sekarang susah-susah”, dan kujawab dengan santai, “iya bu, ini kecepetan. Makanya Monik jangan dipaksa. Belajarnya Pelan-pelan aja. Supaya ga stress lagi kaya dulu. Monik ini pinter banget kok. Buktinya ngerjain PRnya cepat banget”. Semoga, setelah itu ada perubahan dalam pola asuhnya dan Monik serta anak-anak lain tumbuh dan dan berkembang secara optimal. Tersenyumlah anak Indonesia!:)

Idzma Mahayattika

Hypnotherapist-Hypnoparenting trainer

KIDZSMILE Foundation

www.kidzsmile.info




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline