Lihat ke Halaman Asli

Bab II Batara Guru Mengunjungi Pérétiwi

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tujuh hari sudah Batara Guru berada di bumi. Hari-harinya suram mendekap kesunyian. Lelaki itu telah menjadi batu dalam kepungan kesadaran-kesadarannya sebagai manusia yang diturunkan untuk menyemarakkan bumi. Dalam masa itu, tak sedikitpun makanan yang menggeliat dalam kerongkongannya, apalagi makanan yang dapat memuaskan kejenuhannya sebagai sang penanti waktu yang akan terus berlalu menghembuskan selaksa kehendak To Palanroé. Tak henti-hentinya lelaki tegar itu memanen kesedihan dari ladang-ladang penantiannya.

Hingga….

Pada dini hari yang benar-benar hening, Batara Guru berpaling, menyingkap kain biru bertatahkan bulan yang menyelimutinya hingga kaki. Bambu betung tempatnya berbaring terbelah dua. Tatapannya menohok tajam ke langit. Di kejauhan, bintang-bintang berkedip gelisah. Bayangan Boting Langiq seketika mengguncangkan batinnya. Begitu cepat kesedihan datang mendekapnya. Batara Guru mengatupkan pelupuk matanya perlahan, menarik nafas panjang berusaha menenangkan perasaan, hingga tepi langit di timur menggurat garis lembayung.

Tatkala fajar benar-benar datang, Manurungngé terbangun. Embun-embun yang turun tergesa-gesa menutupi permukaan bumi begitu kental mengantar pagi. Di dedaunan, embun-embun itu berkaca-kaca memantulkan sinar matahari yang seperti malas membuka matanya.

Perlahan Batara Guru bangkit dari bambu betung tempatnya berbaring. Sinar pagi terasa aneh menusuk-nusuk wajahnya. Suasana pagi yang begitu ramai oleh kesiur angin dan suara nyanyian burung-burung membuat hati Batara Guru menjadi sedikit senang.

Ingin menikmati suasana pagi, ia pun berjalan-jalan ke hutan, di pinggir telaga. Beningnya air telaga membuat kerongkongannya menjadi kering. Merasa haus, Manurungngé meraup air dengan tangannya dan minumnya. Ia juga membasuh wajahnya yang masih kusut dan bercermin di air telaga yang kemilau. Terbayang di bening telaga raut wajahnya yang teduh, bersinar seperti cahaya.

Merasa segar, ia pun bermaksud kembali ke tempatnya semula. Namun baru saja hendak meninggalkan tempat, ia merasakan ada keanehan. Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya dan memandang jauh ke tengah telaga. Di kejauhan dilihatnya penguasa telaga muncul berpakaian warna kuning dan terus bergerak ke arahnya.

Belum sempat Batara Guru mengeluarkan kata-kata, penguasa telaga itu telah mendahuluinya dan langsung mengajaknya pergi:

“Apa kabar wahai Puang La Togeq Langiq. Kemarilah, naik ke atas punggungku. Akan kuturunkan engkau ke Uriq Liu, agar dapat melihat-lihat negeri Toddang Toja dan berjumpa dengan sepupu sekalimu.”

Tanpa ragu-ragu Manurungngé langsung naik di punggung penguasa telaga. Perawakannya yang tinggi dan besar, bagi penguasa telaga, tidaklah begitu menyulitkan dirinya untuk menopang Batara Guru. Tak terasa olehnya ia turun ke bawah. Begitu cepat, keduanya telah sampai di Uriq Liu, berjalan-jalan di Toddang Toja. Kebetulan sekali di istana Toddang Toja sedang berkumpul bangsawan berdarah murni di Lapiq Tana, raja yang memerintah negeri-negeri indah, semua anak raja di Pérétiwi.

Saat itu, orang-orang Toddang Toja juga sedang berkumpul di gelanggang dekat istana Sao Selliq yang berhias emas. Orang-orang itu saling menyabung ayam andalan mereka. Bagaikan halilintar suara teriakan para pemain judi tersebut. Batara Guru hanya terdiam menyaksikan mereka tampil dengan ayam andalan mereka di gelanggang kemilau.

“Kecil-kecil tampaknya orang di sini, keriting semua rambutnya,” gumam Batara Guru. Tatapannya tak berkedip sedikit pun. Ia memperhatikan satu demi satu orang yang sedang berkumpul tersebut. Sorot matanya yang tajam berlompatan kian kemari, menari bersama kesiur angin dan teriakan para penjudi.

Cukup lama Manurungngé hanya berdiri menyaksikan keramaian di dekat istana. Hampir hilang batas ketenangan hatinya membayangkan dirinya sewaktu masih berada di Boting Langiq, di gelanggang sabungan halilintar di Rualletté, tempatnya bermain di Boting Langiq. Ada rasa rindu yang mengganjal batinnya. Ia sangat ingin kembali menikmati suasana tersebut. Angannya pun makin melambung menembus tujuh lapis langit dan bermain di Rualletté.

Hanya berselang beberapa lama, Linrung Talaga kebetulan sekali membuka jendela seraya menjenguk ke luar. Seketika ia terkesiap tatkala melihat sepupu sekalinya sedang berdiri sejajar dengan pagar istana. Penguasa Uriq Liu itu buru-buru masuk dan menghadap ayahanda dan ibundanya.

Sembari menyembah Linrung Talaga berkata:

“Di luar istana, aku melihat seraut wajah yang sama dengan rupa sepupu sekaliku yang ditempatkan menjadi tunas di bumi. Mungkin ia ingin berkunjung ke istana Sao Selliq melihat-lihat calon pendampingnya di Kawaq.”

Gembira sekali Sinauq Toja dan Guru ri Selleq mendengar berita tersebut. Keduanya segera memerintahkan kepada Linrung Talaga untuk menjemput Batara Guru dan memintanya untuk naik ke istana.

Bergegas Linrung Talaga turun dan berjalan menuju tempat Batara Guru berdiri. Tak menyangka sepupu sekalinya datang, Batara Guru sedikit tergeragap. Ia kemudian tersenyum ke arah Linrung Talaga yang datang bersama ribuan orang yang mendampinginya.

“Apa kabar kakanda? Bagaimana keadaan di bumi? Air pasang apa yang tiba-tiba saja bergolak dan menghempaskan kakanda kemari?” tanya Linrung Talaga sembari merangkul Batara Guru.

“Kabar baik adinda. Penguasa telagalah yang membawaku kemari, melihat-lihat Toddang Toja dan bertemu dengan penghuni istana Sao Selliq.” Batara Guru membalas pelukan sepupunya dengan perasaan senang.

Keduanya saling bertautan jari, berangkat menuju istana Sao Selliq, menginjakkan kaki pada tangga berukir, berpegangan pada susuran tangga kemilau. Di atas istana, Batara Guru dan Linrung Talaga perlahan melangkahi ambang pintu keemasan, menyusuri lantai papan gemerlap, dan terus masuk melewati sekat tengah ruang utama istana.

Melihat kemanakannya datang, gembira sekali perasaan Sinauq Toja bagai meminum madu rasanya. Sambil menengadah ia berkata, “Duduklah engkau, La Togeq Langiq, di atas permadani berwarna-warni!”

Sujud menyembah Manurungngé di hadapan kedua penguasa Pérétiwi. Sinauq Toja segera menunduk, meraih cerana emas dan membukanya, lalu menyodorkan kepada kemanakannya sirih yang telah ditumbuknya. Tak lupa ia mengambil sebagian lalu menyirih.

“Gelombang apakah gerangan yang membuatmu turun ke Toddang Toja? Tak kuasakah engkau menahan keinginan untuk bersanding di pelaminan dengan sepupu sekalimu?” tanya Sinauq Toja sambil tertawa.

Mendengar ucapan bibinya membuat perasaan Batara Guru menjadi gelisah. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Jiwanya seketika saja seperti melayang, membumbung dan kembali ke bumi. Ia tak menyangka bibinya akan berkata demikian. Sejenak ia tertunduk. Tatapannya seakan ingin menembus lantai istana.

Ia kembali menyembah, dan dengan terbata-bata berusaha menjawab pertanyaan Sinauq Toja yang sebenarnya tak begitu butuh lagi jawaban:

“Kalau Puang berdua mengizinkan... hamba ingin nanti setelah hamba berada di bumi, munculkanlah sepupu sekaliku untuk menemani kesepianku. Bersama berbagi dan menumbuhkan tunas-tunas baru yang akan menjadi pengganti kami, dan mematangkan kayu sengkonang atas nama dewata.”

Sejenak Batara Guru menoleh dan membiarkan pandangannya mengembara mencari sosok sepupu sekalinya, Wé Nyiliq Timoq. Beberapa lama berputar-putar, ia tak juga menemukan sosok perempuan yang akan menjadi pendampingnya kelak. Hatinya tiba-tiba tidak tenang. Duduknya pun menjadi gelisah. Keinginan hendak kembali ke dunia begitu saja datang menerjang, menarik-narik tubuhnya dan berusaha melemparkannya ke dunia saat itu juga.

“Baiklah. Kami akan segera memunculkan Wé Nyiliq Timoq untuk mendampingimu di Kawaq,” ujar Sinauq Toja sedikit tersenyum.

Bagi Batara Guru senyum itu membuat wajahnya semakin bersemu merah. Rasa malu benar-benar menyelimutinya. Ia bertambah gelisah.

Melihat gelagat tersebut, Linrung Talaga segera mendekat, lalu berkata setengah berbisik:

“Duduklah dulu dengan tenang, kakanda. Jauhkan gelisah dari dirimu. Bermalamlah di Toddang Toja. Besok ketika matahari telah menampakkan wajahnya, barulah engkau naik ke dunia. Tak inginkah engkau menikmati bermacam makanan orang Toddang Toja, makan yang tidak dipanggang di atas api.”

“Kur semangatmu, adinda. Sebaiknya biarkanlah aku kembali ke bumi. Apapun yang terjadi pada diriku di atas sana, telah kupasrahkan semuanya pada ketentuan To Palanroé,” jawab Batara Guru seraya menatap wajah sepupu sekalinya.

“Iya. Tinggallah dulu ananda. Maafkan jika ucapanku tadi membuat hatimu tak tenang,” pinta Sinauq Toja yang diangguki suaminya.

Namun demikian, Batara Guru tetap saja bersikukuh untuk pergi. Tak dapat menghalangi keinginan putra mahkota Boting Langiq itu, mereka pun akhirnya mengizinkannya pergi.

“Kukuhkanlah semangat kekahyanganmu. Kembalilah ke pusat bumi sebagai tunas dewata. Nanti setelah engkau tenang berada di dunia, barulah aku jelmakan sepupu sekalimu,” ujar Sinauq Toja sambil merangkul Batara Guru. Demikian pula dengan Guru ri Selleq dan Linrung Talaga.

Usai meminta diri, Batara Guru perlahan meninggalkan ruang utama istana menuju tangga. Tak terasa lagi tubuh Batara Guru telah kembali ke dunia dan tiba di hutan tempat semula ia terdampar. Karena merasa lelah, ia lantas berbaring di bambu betung sambil menutup kepalanya, membungkus kakinya dengan kain biru langit berhiaskan bulan.

Berkali-kali ia berusaha memejamkan mata dan melelapkan pikirannya, namun ia tak dapat juga tertidur. Penyakit susah tidur tiba-tiba saja menyerangnya. Ia merasakan panasnya membakar pelupuk mata dan kepalanya. Padahal ia berharap kiranya tidur itu dapat menyelamatkannya dari siksaan batin akan kerinduannya ke Boting Langiq.

Berbagai hal dilakukannya untuk segera mengakhiri kesadarannya, termasuk membuang segala macam pikiran yang mengacaukan dari kepalanya. Tapi sia-sia. Ia malah makin tersiksa. Meski begitu, Batara Guru tak mau mengalah. Ia terus berusaha membungkus kenangan dan menyimpannya dalam gelap. Dan berhasil. Hanya sesaat, Batara Guru pun tak sadarkan diri, larut dalam mimpi, melemparkan kesadarannya ke tepi bayang-bayang. Pulas sekali Manurungngé tafakur dalam tidurnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline