Masa transisi pandemi COVID-19 selama kurang lebih tiga tahun telah mengembalikan rutinitas masyarakat di ruang publik. Momen ini mendorong perlunya menemukan kembali makna ruang publik di perkotaan. Bagi penyandang disabilitas, kesempatan ini menjadi peluang untuk merebut keadilan melalui ruang publik yang lebih inklusif dan mudah diakses bagi seluruh entitas termasuk semua ragam penyandang disabilitas.
Membicarakan ruang publik dalam arti sempit yaitu fasilitas publik berupa ruang terbuka hijau, perpustakaan, trotoar, sekolah, fasilitas kesehatan, transportasi publik, museum, dan ruang temu sejenisnya yang saling menopang kebutuhan masyarakat.
Namun, absennya data tentang ruang publik dengan aksesibilitas memadai telah menjadi permasalahan tersendiri. Di satu sisi, keberadaan sekitar 15 persen dari penduduk Indonesia tercatat sebagai penyandang disabilitas. Realitas ini mendorong kehadiran fasilitas publik di perkotaan perlu memiliki aksesibilitas yang memadai dan tersebar merata agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali penyandang disabilitas.
Manifestasi aksesibilitas di ruang publik
Ruang publik menjadi arena transformasi sosial untuk menumbuhkan nilai inklusivitas dan toleransi sesama pengguna di lingkungan perkotaan. Dalam upaya mengakomodasi kepentingan itu, membangun ruang publik perlu menyadari bahwa penggunanya memiliki kebutuhan yang beragam. Menyediakan ruang publik yang inklusif menjadi itikad baik untuk mengizinkan penyandang disabilitas maupun individu dengan kondisi lainnya seperti orang lanjut usia dan ibu hamil untuk terlibat dalam aktivitas sehari-hari.
Upaya mewujudkan aksesibilitas untuk seluruh kalangan salah satunya dapat menggunakan konsep arsitektur bernama desain universal. Merujuk pada kajian Pusat Studi Universal Desain yang diperkenalkan oleh Ronald Mace, seorang akademisi dari North Carolina State University, menyatakan bahwa pendekatan ini berperan dalam menciptakan ruang yang dapat diakses, digunakan, dan nyaman untuk setiap individu tanpa memandang usia atau kemampuan, sehingga tanpa memberikan perlakuan istimewa, inklusif dapat terwujud.
Pada tataran praktik, setiap keberadaan ruang publik harus mampu mengakomodasi seluruh ragam kebutuhan penyandang disabilitas. Mengadopsi beberapa prinsip desain universal menjelaskan bahwa perwujudannya dapat dilakukan dengan menginkorporasi asas-asas pelayanan publik seperti kemudahan akses dan tidak diskriminatif atau adil perlu diterapkan pada standar kelengkapan bangunan fasilitas publik. Misalnya, tersedianya ramp atau bidang landai mengizinkan pengguna kursi roda mengakses bangunan pertokoan secara mandiri.
Di sisi lain, fasilitas ini bermanfaat bagi orang tua yang sedang mendorong kereta anak. Begitu pula, seorang Tuli dan disabilitas intelektual akan lebih mudah menjangkau sebuah toilet di dalam museum dengan tersedianya papan informasi yang jelas dan mudah pahami. Kelengkapan fasilitas tersebut menjadi bagian dari aksesibilitas yang mendukung kemandirian bagi setiap penggunanya.
Disabilitas sebagai subjek yang mandiri di ruang publik
Di Indonesia, penyediaan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas di ruang publik telah dijamin negara melalui Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang penikmatan fasilitas publik. Regulasi ini memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak terkecualikan dalam menikmati fasilitas publik dengan menyediakan kebutuhan aksesibilitas sesuai ragam kebutuhannya.
Sebagaimana warga negara lainnya, penyandang disabilitas berhak merasa nyaman dan aman untuk menjangkau fasilitas publik yang tersedia tanpa mengalami suatu hambatan yang berarti. Bagi disabilitas, komitmen ini cukup memberikan rasa percaya diri untuk dapat mengakses secara mandiri fasilitas publik yang tersedia tanpa khawatir dirinya akan mengalami kesulitan.
Tantangan Akses di Ruang Publik
Kota yang ramah adalah kota yang mampu menghargai keberagaman penghuninya dengan menyediakan akomodasi yang layak. Namun, untuk menciptakan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas perlu memahami karakteristik permasalahan dan tantangan yang kerap dihadapi penyandang disabilitas saat berinteraksi di ruang publik.
Melalui refleksi penulis sebagai seorang disabilitas dan tumbuh di lingkungan penyandang disabilitas lainnya, beberapa jenis hambatan tergambar dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Pertama, hambatan sosial berupa adanya stigma negatif dari masyarakat kerap menciutkan nyali untuk sekadar keluar rumah dan menikmati fasilitas publik. Situasi ini menyebabkan penyandang disabilitas jarang terlihat dan ditemui. Akibatnya, rendahnya partisipasi disabilitas membuat pemangku kepentingan dan masyarakat umum lainnya menjadi gagap dalam memahami kebutuhan penyandang disabilitas di ruang publik.