Lihat ke Halaman Asli

Idris setiawan

Sang Pencinta Keheningan

Cerita hidup pengamen

Diperbarui: 15 Februari 2020   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

 Ramai lalu lalang masyarakat di pasar Parung Bogor. Memang sudah menjadi hal biasa di pandangan orang-orang seperti kami. Dengan membawa gitar yang di dapat dengan menambung dari mengamen. Aku berjalan menyusuri pertokohan dan keluar masuk warung rumah makan. Beginilah hidup di jalan, mencari sedikit rezeki untuk makan anak bini di rumah. Dengan keiklasan, ku susuri jalanan berdebu di terik panas Pasar. Sembari menyanyikan satu buah lagu, ku masuki lapak-lapak pedagang.

 "Kalaku seorang diri, hanya berteman sepi dan angin malam. Terima kasih bu.(sembari mengambil uang ribuan yang di sodorkan) ku coba merenungi, tentang jalan hidupku."(sembari berjalan berpindah lapak satu dan lainnya)

  Tak banyak pedagang yang menyisihkan rezeki mereka. Dan ada pula yang bilang,"maaf bang, lain kali." Tapi aku hanya tersenyum sebagai isyarat bahwa mengerti. Dan berpindah kelapak pedagang yang lain.  Banyak masyarakat yang lalu lalang. Bahkan tak sekali ada yang ku kenal. Dari warga sekampung, teman main, dan bahkan teman waktu sekolah dulu. Ada yang menegur, ada yang memalingkan muka seolah-olah tak ingin mengenalku. Tapi semua ku anggap tak masalah, sebab inilah pekerjaanku. Yang terkadang di pandang sebelah mata, padahal yang kami jual adalah keahlian dan suara. Kami tak meminta-minta, bila ada yang rela menyisihkan sedikit rezeki mereka kami ambil. Dan bila ada yang tak berkenang memberikan, maka kami tidak marah. Sebab kami iklas dan rido lillahitaallah. 

 "Hey bung"(panggil preman pemegang wilayah pasar)

 "Iya bang."(sembari mendekati)

 "Uda dapet berapa ni hari?"

 "Belum di hitung bang, palingan baru 20 ribu."

 "Ooo... yaudah bagi ane! Rp.5000 aja. Buat beli rokok 3 batang."(sembari menyidorkan tangan)

 "Ini bang"(sembari menyodorkan uang)

 "Terima kasih bung. Semoga lancar ngamennya."(preman pun pergi menjau"

  Itu bukan hanya sekali, tapi memang sudah menjadi kewajiban. Bila pengen ngamen kita aman. Sebab disini kita mencari rezeki, dan tidak ingin ribut atau ada kesalahpahaman kepada pemegang wilayah pasar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline