Lihat ke Halaman Asli

Idris Reficul

Seorang pembaca

Berdansa di Bawah Cahaya Rembulan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Yogyakarta, 2008

Suasana ruang makan menjadi sepi. Selanjutnya suara sendok yang beradu dengan piringmemecah keheningan. Vana seakan-akan tak peduli dengan apa yang terjadi saat ini. Gadis yang masih duduk di kelas 2 SMP tetap menikmati makan malamnya. Berbeda denganku yang sudah tidak nafsu lagi untuk menghabiskan rendang kesukaanku yang tinggal beberapa suap lagi. Ibu menatapku iba sedang ayah masih berusaha untuk menenangkan pikirannya yang terluka.

“Ini semua demi kebaikanmu Re. Sayang jika bakatmu yang bagus di bidang akademik serta nilaimu yang paling tinggi di kota ini disia-siakan. Kami hanya ingin kamu melanjutkan kuliah ke kedokteran. Bukan ke jurusan sastra.” Tegas Ayah kepadaku.

“Memang kenapa kalo Re kuliah di jurusan sastra? Apakah ini menyalahi aturan?” Tanyaku meminta penjelasan.Sejak kecil aku menyukai sastra dan sekarang pun juga meski ketika SMA aku masuk di jurusan IPA.

Sejenak ayah menghela napas panjang. Lalu pandangannya mengarah ke ibu yang sejak tadi hanya diam diantara percakapan kami.

“Begini Re. Kamu tahu kan apa profesi Ayah dan Ibu? Kami ingin kau menjadi seperti kami. Dokter adalah profesi yang mulia. Kamu dapat membantu menyembuhkan penyakit orang-orang yang memerlukan bantuanmu. Memang hanya Tuhanlah yang memberi kesembuhan. Akan tetapi kamu hal itu dapat melalui tanganmu, tangan seorang dokter. Ini semua demi kebaikanmu Re dan juga demi kebaikan orang-orang yang memerlukan bantuan seorang dokter.”

“Ayahmu benar Re. Saat ini banyak orang-orang sakit yang tidak mampu yang memerlukan bantuan. Biaya untuk ke rumah sakit sangat mahal. Meskipun ada program Jamkesmas dari pemerintah, tapi masih saja ada yang tidak mendapatkanya.” Akhirnya ibu ikut angkat bicara.

“Tapi Bu, Ibu kan tahu kalo Re suka ke jurusan sastra. Ayah juga tahu kan kalau Re sudah bisa mengarang novel dan puisi. Bahkan Re sudah menjalani kontrak selama setahun ke depan dengan penerbit buku terbesar yang ada di Jakarta.” Belaku penuh harap sembari melihat ke ayah dan ibuku.

“Iya, Ayah tahu. Novel dan puisi kamu juga bagus. Kamu ada bakat juga di dunia sastra. Tapi sekali lagi Ayah tekankan bahwa kedokteran lebih cocok dan bagus untukmu ke depannya.”

Aku hanya semakin dalam terpaku dngan kediamanku.

Aku sangat mencintai sastra. Akan tetapi aku juga tidak bisa menolak keinginan ayah da ibuku. Mereka berdua juga dokter. Dokter adalah pekerjaan yang mulia dan alasan mereka sangatlah masuk akal. Pikiranku melayang kepada temen SMA ku Alif. Beberapa minggu yang lalu ayahnya meninggal karena sakit paru-paru akut. Keluarganya tidak mampu untuk membawa mendiang ayahnya ke rumah sakit. Aku baru tahu setelah beberapa hari Alif tidak masuk sekolah. Setelah tahu bahwa ayahnya sakit paru-paru, maka aku meminta ayahku untuk berbaik hati memeriksanya secara cuma-cuma. Akhirnya ayah Alif diperiksa dan diberi obat. Akan tetapi hal itu sudah terlambat. Penyakit paru-paru ayah Alif sudah tidak dapat tertolong lagi. Seminggu sebelum pengumuman kelulusan Alif dari SMA, ayahnya meninggal dunia.

Sebuah ide muncul di kepalaku. Jalan keluar untuk masalah ini menurutku.

“Baiklah. Re akan ikut saran Ayah dan Ibu. Re akan masuk ke kedokteran. Akan tetapi ada satu syarat yang Re ajukan. Re akan kuliah di jurusan kedokteran asal Ayah dan Ibu jangan pernah melarang Re untuk tetap berkarya di bidang sastra.” Ujarku dengan suara bergetar.

Sejenak mereka saling berpandangan. Berdiskusi sebentar. Lalu aku lihat senyum merekah dari bibir ibuku.

“Kami setuju. Akan tetapi Re juga harus berjanji kepada kami bahwa kegiatan sastra Re tidak boleh mengganggu kuliah. Apabila itu terjadi, maka dengan terpaksa kami akan melarang Re untuk tetap berkarya di dunia sastra.” Aku dengar Ayah berkata dengan penuh ketegasan.

“Baik Ayah. Re berjanji akan hal itu.” Jawabku dengan penuh senyum kebahagiaan.

Akhirnya kesepian dan keheningan ruang makan sirna. Aku kembali menghabiskan jatah rendangku yang sedari tadi hanya terdiam di atas piring. Ayah dan ibu pergi ke ruang santai untuk melihat berita di televisi. Vana sudah sejak tadi menyelesaikan makan malamnya.

***

Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi rasa kantuk yang biasanya sudah menyergapku seakan-akan saat ini sedang bersembunyi entah di mana. Sejenak aku teringat oleh teman semasa kecilku di Lampung. Aku keluarkan selembar kertas yang susah payah aku simpan selama 6 tahun. Aku baca lagi tulisan yang ada di dalamnya. Ada perasaan rindu mendalam yang mulai menjalari sekujur tubuhku.

“Dimanakah kau kini Aya? Apakah kau masih di tempat kelahiranmu? Atau kau sudah menjelajah negeri antah berantah seperti cita-citamu dulu. Bagaimana kabarmu saat ini? Masih ingatkah kau kepadaku? Wajarkah perasaan rinduku ini?” Batinku berkecamuk dengan beberapa pertanyaan tentang teman kecilku itu. Tapi hanya kesunyian yang aku dapat.

Jakarta, 2011

"Aya, selamat ya! Akhirnya cerpen esay yang kamu kirim lolos. Tuh pengumumannya ada di depan.” Suara Dewi mengagetkanku dari arah belakang. Dewi adalah sahabatku sejak aku pindah ke SMA di Jakarta. Dia sangat perhatian dan baik sekali.

"Benar kata si Dewi Ya, karyamu akan dimuat bersama penulis hebat lainya lho. Nama kamu akan terpampang bersama penulis besar lainya. Erma Fitria. Kamu semakin narsis deh!" Tiba-tiba saja terdengar suara centil terdengar dari arah belakang Dewi. Siapa lagi kalau bukan si Zahara.

Dewi dan Za adalah dua teman akrabku. Setelah lulus SMP, aku ikut orang tuaku pindah ke Jakarta dan melanjutkan SMA. Ayahku yang seorang PNS dipindahtugaskan ke kota megapolitan ini. Dewi dan Zahara lah yang pertama kali aku kenal saat masih duduk di kelas 1. Dan sampai sekarang ini mereka masih tetap menjadi sahabat karibku dan mereka kuliah di universitas yang sama juga denganku.

"Alhamdulillah...Terima kasih ya Allah atas nikmat yang kau limpahkan padaku." Aku mengucap syukur sembari mengangkat kedua tanganku.

"Yah, masak nggak terima kasih sama aku juga sih?" Dewi pura-pura mendengus kesal.

"Iya nih, payah!" Za juga menimpali apa yang dikatakan Dewi sambil menyenggol pundakku.

"Hmm, ya sudah. Sebagai ucapan terima kasihku kepada dua peri penjagaku yang lagi masang muka kelaparan ini, aku traktir kalian makan ice cream gimana?" Ujarku sambil melihat ke arah mereka berdua. "Atau mau aku traktir makan mie ayam di kantin?

"Nahh, ini nih yang aku paling demen, ya nggak Wi?" Udah mulai keluar lagi deh gaya si ratu centil.

“Yuph, aku sepakat ma Za. Mie Ayam.” Dewi mengangkat tangannya tanda setuju.

"Ya udah! Yukk... Berangkat!" Ajakku kepada mereka.

Mereka memang sahabatku yang paling baik. Aku hanya tersenyum kecil memperhatikan tingkah mereka berdua yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa kecilku. Sebentuk wajah lugu dengan tatapan sayu menggelayuti kedua mataku.

“Re, masihkah kau mengingatku?” Hati kecilku berbisik lirih.

Suasana mendadak sunyi. Dewi dan Za melirik ke arahku. Mereka memandangiku dengan tatapan yang bingung.

"Hallo! Kok melamun aja neng?" Dewi mengagetkanku. Aku terkesiap.

"Oh, gak papa kok. Hehehe." Kilahku.

"Emang kamu lagi ngelamunin apa sih Ya? Ada apa? Ada masalah kah? Cerita lah sama peri-peri centilmu ini." Ucap Za sambil mempermainkan sendok di tangannya.

"Kamu nggak apa-apa kan Ya?" Tanya Dewi pelan-pelan.

"Iya, aku baik-baik aja. Aku lagi ingat sama Re." Kataku lirih dan lemas.

Setelah mendengar jawabanku mereka berdua tertegun saling pandang, saling sikut-sikutan dengan raut wajah agak bingung dengan ucapanku barusan. Memang, aku tak pernah menceritak tentang Re pada siapapun bahkan sama mereka yang sahabat karibku sendiri.

"Eehm...Re? Siapa dia?" Dengan bersamaan dan suara terputus-putus mereka bertanya padaku.

"Dia teman di masa kecilku dulu. Kami sangat akrab. Banyak kesamaan dari kami berdua, padahal waktu itu aku mengenalnya belum lama. Tapi mungkin karena kami punya banyak kesamaan jadi semuanya mengalir gitu aja.” Meluncurlah cerita tentang kisahku dengan Re dari awal ketemu sampai dengan puisi terakhir yang dia berikan kepadaku.

"Oww...Jadi gitu ceritanya?" Mereka serempak menjawab sambil menganggukkan kepala dan mereka juga berhasil membuat kaget seisi kantin.

“Iya, begitulah ceritanya. Yang aku tahu terakhir kali dia pindah ke pulau jawa. Tapi aku tidak tahu di kota mana dia tinggal. Bahkan untuk nama lengkapnya aku juga lupa. Hanya nama panggilannya yang masih terngiang di telingaku sampai saat ini.”

“Cie cieee...suit suit cethak cethak ihiirrrr. Ada yang lagi cinta monyet nih.” Za akhirnya memecah kesunyian.

Entah kenapa mukaku berubah menjadi merah. Aku tak tahu apakah aku malu atau sedang mengiyakan apa yang dikatakan Za. Kembali aku menerawang jauh ke langit biru.

“Aya, kamu masih menyimpan puisi terakhir yang Re kasih ke kamu gak? Boleh dong aku baca?” Dewi bertanya seraya menatapku penuh rasa ingin tahu.

Sejurus kemudian aku mengambil kertas yang sudah aku laminating agar tetap terjaga. Kertas yang bertuliskan puisi terakhir dari Re. Dewi dan Za terlihat antusias untuk membacanya.

“Berdansa di bawah cahaya rembulan”

Kau dan aku menyatu

Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru

Saat kita bersua

Di lembah REFITRIYA

“Beuuuhhh...romantis banget! Pantesan kamu selalu teringat sama dia.” Za berkomentar sambil melihat ke arahku sambil mengedipkan kedua matanya. Centil.

“Kecilnya aja sudah romantis, apalagi sekarang ya. Mungkin sudah beribu-ribu cewek yang takluk ma si Re.” Dewi menimpali apa yang dikatakan Za.

“Lembah REFITRIYA? Emang ada ya di Lampung yang namanya lembah REFITRIYA? Baguskah tempatnya?”

“Gak ada. Itu adalah nama yang kami berikan untuk tempat kami sering bertemu dulu. RE untuk nama dia dan FITRIYA untuk namaku. Tempatnya bagus. Setiap sore kami biasanya bercengkrama di sana.” Jawabku dengan perasaan yang tak menentu.

“Tapi apakah kamu yakin kalo si Re masih ingat ma kamu Ya? Siapa tahu dia sekarang lagi merayu cewek lain dengan puisi-puisinya yang mungkin lebih romantis dari puisi ini.”

“Aku gak tahu juga Wi. Tapi setidaknya aku ingin bertemu sama dia sekali saja. Biar aku gak terus menerus dihantui kenangan masa kecilku ini.”

“Ouwh..ya sudah kalo gitu. Semangat ya Aya! Kami dua peri centilmu akan selalu mendukungmu.” Za menepuk pundakku dengan lembut.

“Anyway, kamu ikut gak lomba puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Dewan Kesenian Yogyakarta? Lumayan lho hadiahnya. Kan kalo kamu menang kita-kita bisa kecipratan lagi nih.” Dewi mengingatkanku akan lomba puisi yang seminggu lalu tertempel di papan pengumuman depan kantor jurusan.

“Insya Allah aku ikut. Doain aku ya biar bisa menang?”

“Siap!” Dewi dan Za menjawab dengan kompak.

***

Yogyakarta, 2011

“Kak Re!” Aku dengar suara seorang gadis berteriak memanggilku. Aku julurkan kepalaku di tengah kerumunan peserta launching novel terbaruku yang berjudul Janji Senja. Aku lihat Vana di barisan belakang sambil mengacung-acungkan lembaran kertas berwarna biru langit. Aku beri dia isyarat untuk menunggu sampai suasana agak sepi.

“Ada apa Van? Kayaknya serius banget?” Tanyaku sambil duduk di kursi di samping adikku satu-satunya di dunia ini.

“Nih baca sendiri. Tadi aku dapet dari kampusku.” Vana menyodorkan kertas yang tadi dia bawa.

Kertas itu berisi tentang pengumuman lomba puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Dewan Kesenian Yogyakarta. Puisi ini akan diikuti oleh seluruh mahasiswa perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

“Trus apa hubungannya dengan Kakak?” Aku bertanya sambil mengerutkan dahiku.

“Yaelah Kak! Jadi orang yang cerdas dikit kenapa. Masak calon dokter lemotnya minta ampun sih.” Ujar Vana sambil tertawa memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih dan rata.

“Maksud Kakak, mengapa kamu memberi Kakak pengumuman ini. Apa kamu menyuruh Kakak ikut lomba puisi nasional ini?”

“Hu um. Ini kan lombanya tingkat nasional. Nah, siapa tahu temen semasa kecil Kak Re ikut lomba ini juga. Kak Re lupa ya? Kan dulu pernah cerita ke aku bahwa Kak Re ingin mencari teman masa kecil Kak Re sewaktu di Lampung dulu. Katanya dia juga suka menulis puisi kan. Jadi, siapa tahu dia juga mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Kak Re. Kalau masih ingat sih. Hehe..”

“Ouwh. Bagus juga usulmu kali ini.” Aku tersenyum ke arah Vana sambil mengusap rambut panjangnya.

“Siapa dulu, Ivana gitu!!” Kata Vana dengan bangga. “Emang siapa sih nama temen masa kecil Kak Re itu? Aku juga jadi penasaran. Jangan-jangan dia cinta monyetnya Kakak ya? Hihihihi”

“Yaaaa, bisa dibilang gitu deh. Hehehe...Kak Re lupa nama asli dia. Cuma yang Kakak ingat hanya nama panggilannya saja. Aya. Itu nama panggilannya.”

“Oh, jadi nama panggilannya Aya. Ya mudah-nudahan bisa ketemu ma dia kali ini. Terus tadi bagaimana launching bukunya? Sukses kan?”

“Alhamdulillah lancar. Tadi jumlah pesertanya melebihi perkiraan panitia. Akhirnya pihak panitia kekurangan buku. Kamu sudah baca kan buku Kak Re yang baru?”

“Udah dong. Kan aku dapet duluan bukunya. Asli, keren banget Kak ceritanya. Ternyata selain jadi calon dokter, Kakak juga calon penulis yang hebat. Empat jempol deh buat Kak Re”

“Amien. Mudah-mudahan bisa tercapai semua keinginan Kakak. Bisa menjadi dokter seperti yang diinginkan Ayah dan Ibu sekaligus menjadi penulis seperti yang Kakak inginkan sejak kecil. Kamu udah makan apa belum Van?”

“Amien..”

***

“Bagaimana Kak?” Suara Vana yang tiba-tiba duduk di sofa dekatku.

“Bagaimana apanya Van?” Aku balik bertanya.

“Persiapan buat ntar malem. Udah siap kan?”

“Oh, Insya Allah siap,” jawabku sambil meletakkan buku yang sedari adi aku baca. “Ayah dan Ibu ntar malem bisa datang kan ke acara pembacaan puisi Kak Re?”

“Yup. Tadi aku udah telpon. Mereka sekarang lagi ada seminar. Ntar selepas Isya mereka dari tempat seminar akan langsung ke Prambanan. Oh ya, sekali lagi selamat ya Kak, puisi Kak Re terpilih menjadi sepuluh besar se-nasional.”

“Makasih Van. Akan tetapi apa yang Kak Re harapkan gak terjadi.”

“Emang kenapa Kak?”

“Dari sepuluh orang yang terpilih, tidak ada satupun yang berasal dari Lampung. Mungkin keinginan untuk bertemu teman semasa kecil Kak Re harus disimpan atau bila perlu dibuang saja. Mungkin dia sudah lupa ma Kak Re.”

“Aiiihhh, jangan pesimis lah Kak! Kan masih banyak kesempatan. Siapa tahu dia lagi sibuk, trus gak ikut lomba kali ini. Tahun depan masih ada lagi kok. Kalo udah yang namanya jodoh gak akan kemana deh.”

“Iya, tapi kalo gak kemana-mana gimana mau dapet jodoh?”

“Yeee, dasar pinter ngeles!”

***

“Baiklah. Kini tiba giliran pasangan peserta terakhir yang akan membawakan puisi mereka. Mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah Erma Fitria dari Jakarta dan Inaz Raihan dari Yogyakarta.”

Suara pembawa acara malam ini menyadarkanku dari lamunan. Akhirnya tiba giliranku untuk membawakan puisi dengan pasangan yang tidak seperti aku harapkan. Sebenarnya dalam hati kecilku aku ingin membawakan puisi ini bersama teman kecilku yang sudah lama tak ku dengar kabar dan keberadaannya.

Di bawah sinar bulan purnama di pelataran candi Prambanan. Sungguh suasana yang sangat spesial sekali jika dia ada di sini, meski hanya berada di barisan kursi penonton sekalipun.

Ketika aku menuju ke atas panggung, sekilas tatapan mataku beradu dengan tatapan wanita yang menjadi pasanganku dalam membacakan puisi malam ini. Wajah yang cerdas dan anggun menurutku. Beberapa detik kemudian ada sesuatu yang menyentak dadaku. Tatapan itu seakan-akan aku kenal. Tatapan yang sejak dulu aku ingat sampai sekarang. Tatapan yang aku harapkan ada di sini saat ini. Mungkinkah dia Aya? Entahlah. Aku mencoba menenangkan diri dan menyangkal perasaan ini.

Setelah memperkenalkan diri masing-masing, maka kami mulai untuk membacakan puisi kami secara bergantian. Dalam even ini, panitia membuat aturan yang bisa dibilang unik dan menantang. Kesepuluh pemenang akan dipasangkan dua-dua dengan pemilihan acak. Setiap pasangan akan membacakan puisi bait perbait secara bergantian.

“Berdansa.” Aku mulai membaca judul puisiku.

“Di Bawah Cahaya Rembulan.” Terdengar suara lembut pasanganku membacakan judul puisinya.

Aku terhenyak bagai disengat ribuan volt di jantungku. Spontan aku langsung melihat dia. Dan dia pun juga melihat ke arahku. Tatapannya penuh selidik dengan sejuta pertanyaan yang terlihat dari kedua matanya. Aku pun juga demikian. Ada rasa heran bercampur kaget yang memenuhi perasaan kami. Beberapa detik kami terdiam dalam kebisuan. Berdansa di bawah cahaya rembulan. Kalimat ini aku sangat mengenalnya bahkan bahkan sering aku baca.

Kemudian aku berusaha mengontrol kesadaranku. Lalu aku mulai membaca bait pertama puisiku dengan perasaan yang tak menentu.

Sejak lama tangan ini ingin menyentuh ujung-ujung jemarimu

Merasakan rindu yang berdetak seiring irama jantung di dada

Mengecup keningmu lembut dengan perasaan membuncah

Lalu menabuh kata-kataku, menyentak kesepian masa

Bait pertama aku baca dengan tenang.

Aku masih di sini, di pertapaan malam

Merajut rindu dengan dengan lembaran-lembaran beludru kenangan

Yang nantinya akan kujadikan gaun pertemuan

Saat purnama menajamkan cahayanya di tengah-tengah lembah kesunyian

Dia pun membaca bait pertamanya dengan suara lemah lembut.

Maka berdirilah dari duduk gundah

Aku sudah menunggumu di pelataran malam

Kidung-kidung peri, alunan-alunan simfoni

Menanti gerak lincah kakimu

Bait kedua semakin meningkatkan kepercayaan diriku yang tadinya hampir goyah oleh perasaan aneh. Perasaan yang muncul akibat perpaduan dari judul puisiku dan judul puisinya.

Aku masih di sini, duduk di atas altar suci

Yang aku bangun dari air mata dan cinta

Menantimu untuk mengajakku menari

Agar penantian ini terberai tak membelenggu kedua kaki

Deg! Perasaan aneh itu muncul kembali setelah bait kedua dibacanya dengan seksama. Lagi-lagi pandangan kami beradu secara spontan. Bait-bait puisi kami seakan-akan saling mengisi.

Terdengar bisik-bisik dari bangku penonton yang entah takjub atau heran. Bagaimana mungkin bait-bait puisi kami terdengar saling memahami. Saling melengkapi. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya.

Jiwa kita merayu, napas kita menderu

Saat kedua tubuh ini beradu, berdansa di malam biru

Menggeliat sampai peluh deras membasahi pipimu

Bait ketiga aku baca dengan hati-hati.

Di bawah cahaya rembulan aku melihatmu

Menari tarian rindu

Menuntunku, mengitari bumi yang membiru

Aku dengar suara lembutnya begitu memukau perhatian jiwaku. Sekali lagi pandangan kami beradu ketika aku diam-diam melihat kepadanya. Kaukah itu Aya? Hati kecilku bertanya penuh harap. Tapi egoku menepis semuanya itu.

Kini tiba di bait terakhir dari puisiku. Ini adalah puisi yang dulu aku tulis untuk Aya sebelum kami berpisah. Aku meminta dia untuk menyimpannya dan aku pun hingga saat ini masih menyimpannya. “Tuhan, tolong sampaikan suaraku ini kepada Aya meskipun aku tak tahu di mana dia berada kini.” Aku berdoa dalam hati.

Kau dan aku menyatu

Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru

Saat kita bersua

Di lembah REFITRIYA

Setelah membaca bait terakhir puisiku, kusapukan pandangan ke semua penonton yang ada dengan senyum tetap tersungging di bibirku. Lalu terakhir kalinya aku tujukan kepadanya yang berdiri beberapa meter di samping kiriku. Aku terkejut. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Tatapannya kepadaku seakan-akan dia melihat hantu mengerikan malam ini. Antara terkejut dan takut.

Lama dia terdiam membisu tanpa ada tanda-tanda untuk melanjutkan puisinya. Apakah puisinya sudah selesai? Tapi mengapa dia terlihat masih ingin menyampaikan sesuatu? Kertas puisinya pun terjatuh saat pandangannya kembali mengarah kepada penonton. Lalu dia mulai membaca puisinya kembali.

Kau dan aku menyatu

Berdansa di bawah cahaya rembulan malam biru

Saat kita bersua

Di lembah REFITRIYA

Dalam semalam, ini ketiga kalinya aku terkejut. Bait itu? Mengapa bait puisi terakhirnya sama dengan bait terakhir puisiku? Sama dengan puisi yang aku tulis 9 tahun yang lalu? Mungkinkah dia?

Akhirnya dia melihatku lalu mengembangkan senyumnya. Senyum yang masih sama dengan 9 tahun yang lalu. Dan kali ini lebih manis dan lebih bermakna. Tatapan itu pun juga masih sama. Jadi tak salah perasaanku tadi. Terima kasih Tuhan. Terima kasih atas kesempatan ini. Berdansa di bawah cahaya rembulan, di pelataran candi Prambanan.

Kemudian dia mendatangiku. Menyalamiku tanpa berkata apa-apa meski tatapan matanya sudah menyiratkan segala perasaannya malam ini. Bersamaan dengan tepuk tangan meriah dari penonton, kami menuruni panggung dengan bergandengan tangan. Tak henti-hentinya senyum tersungging di bibir kami. Sejuta makna dan selaksa bahagia menyelimuti jiwa kami. Jiwa yang baru saja berdansa di bawah cahaya rembulan. Di bawah senandung suka cita malam biru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline