Ruang terbuka bagi masyarakat kota Makassar tidak cukup banyak. Hanya ada beberapa taman yang tidak cukup luas. Taman-taman itupun tidak mendapat perhatian dan perawatan yang baik. Taman segitiga, taman macan, dan yang terbaru taman maccini sombala seperti terlupa oleh pemerintah kota. Pada pagi hingga sore hari, masyarakat mungkin bisa memanfaatkan ruang-ruang terbuka itu. Tapi, tidak di malam hari. Lampu penerangan yang ada, hanya cukup untuk pasangan yang butuh tempat temaram. Hal ini yang membuat saya iri pada taman-taman di kota surabaya. Di sana, taman-taman kota menjadi tempat bertemu, berdiskusi, bermain, dan belajar. Persis Lapangan Karebosi beberapa tahun silam. Di Lapangan ini, bahkan wariapun menikmati otoritasnya.
Lapangan Karebosi hingga kini masih menjadi titik Nol kilometer kota Makassar. Mungkin sesuai dengan mitos yang dipercaya masyarakat Makassar, bahwa lapangan Karebosi adalah tempat diturunkannya juru selamat dari langit ketika masyarakat sulawesi selatan sedang mengalami masa kelam. Paceklik panen, banjir bandang dan wabah penyakit yang tak kunjung mereda kala itu. Di Karebosi, terdapat makam yang disucikan oleh masyarakat Makassar. Makam itu berjumlah tujuh. Orang makassar menyebutnyaI Tujua ( Yang berjumlah tujuh). Jumlah yang jauh lebih banyak dibanding Taman Bungkul di Surabaya yang hanya terdapat satu makam, Mbah Bungkul. Boleh jadi, pemerintah kota surabaya belajar dari Lapangan karebosi tentang bagaimana membuat sebuah ruang terbuka yang baik. Dengan memilih lokasi yang ada makamnya, mungkin. Hehehe.
Dulu, lapangan Karebosi menjadi tempat bergulirnya setiap wacana tentang kota makassar. Bagaimana tidak, semua strata sosial dari penghuni struktur tertinggi hingga terbawah bisa melebur di sini. Sejak pagi hingga malam hari, lapangan Karebosi selalu berdenyut. Setiap waktu memiliki “pemerannya” sendiri. Mereka, dengan santai melebur bersama racikan kopi tubruk Toraja yang dijual warung-warung tenda. Pada siang hari, es pisang ijo dan pallu butung menjadi pemadam kegerahan, mengingat kota makassar memiliki udara yang cukup panas. Di siang itu juga, papan-papan catur mulai digelar. Tampak bapak-bapak paruh baya sangat menikmati momentum ketika bisa mengancam Raja lawannya, yang juga paruh baya. Hidup di usia senja banyak mereka habiskan di tempat ini. Dan, lapangan ini menjadi titik bertemu teman sebaya-seangkatan. Tanpa harus merogoh kocek yang dalam. Cukup tiga ribu perak untuk secangkir kopi tubruk, kualitas masa tua bisa lebih berarti.
Setelah shalat Ashar, Sekolah Sepakbola (SSB) Bangau Putra, PERSIS, dan Makassar Football School (MFS) bersiap-siap untuk memulai latihan. Luas lapangan Karebosi bisa menampung bahkan sepuluh SSB. Kala itu, atmosfer sepakbola di Makassar sedang mencapai puncaknya. SSB PERSIS yang paling nge-trend (sebelum hadirnya MFS). Anggotanya mencapai ratusan anak. Bukan hanya anak-anak yang tinggal di kota Makassar, puluhan anak rela datang dari kabupaten-kabupaten. Pada jam itu, kita bisa menjumpai bapak-bapak bersepeda motor membonceng anaknya, dua hingga tiga anak sekaligus, dengan memakai seragam yang didominasi warna kuning dengan strip hijau pada lengannya. Waktu masih di SekolahDasar, Saya pernah ditawari oleh saudara kakek yang tinggal di jalan tinumbu untuk ikut SSB ini.
Dia siap antar-jemput kabupaten Gowa-Lapangan Karebosi. Terlalu merepotkan, pikirku saat itu. Jebolan SSB di lapangan Karebosi ini cukup banyak. Prestasinya dari tingkat lokal hingga mancanegara. Kapten PSM Makassar saat ini, Syamsul Haeruddin, yang tinggal di kabupaten Gowa adalah lulusan MFS. Di Prancis, MFS pernah menjadi juara pada ajang Danone Nations Cup. Ajang sepakbola anak itu mencuatkan nama Irving Museng sebagai top scorer, yang juga jauh-jauh datang dari kabupaten Gowa untuk berlatih sepakbola di Lapangan Karebosi. Sehabis latihan, anak-anak itu sering diajak oleh orang tuanya makan sop konro, sop kikil, coto, atau bubur kacang ijo di pelataran tribun Lapangan Karebosi sembari menatap patung Ramang (Legenda sepakbola Makassar) yang berdiri kokoh di gerbang Karebosi. Mungkin, mereka berharap karomah agar tendangannya sekuat Ramang kala membela Hindia Belanda diajang olimpiade Sidney melawan Rusia.
Di masa itu, lapangan karebosi bukan hanya menyediakan jogging track dan lapangan sepakbola. Karebosi juga berfungsi sebagai monumen kebudayaan dan spirit kemanusiaan. Beberapa sanggar tari tradisional dan teater sering berlatih disini. Baik dari kelompok mahasiswa maupun sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya. Pada sabtu sore, ratusan merpati beterbangan di langit Karebosi. Ya, mereka adalah merpati balap. Tempatnya di sudut kanan lapangan. Untungnya, merpati balap hanya dipanggil dengan memperlihatkan betinanya (karena semua merpati yang terbang adalah jantan). Sebab, jika mereka dipanggil dengan instrumen suara, maka suara penjual obat yang berada di dekatnya jauh lebih menggelegar. Penjual obat keliling juga mencari nafkah di tempat ini. Pengunjungnya selalu ramai karena disuguhi atraksi ular atau monyet terlatih.
Kini, karebosi tidak berwajah demikian lagi. Meski masih menjadi ruang terbuka untuk publik, jutaan perannya telah dilucuti oleh bangunan beton dan pusat perbelanjaan modern di bawahnya. Sebagian tanahnya dijadikan lahan parkir kendaraan bermotor. Sekolah-sekolah sepakbola tidak lagi ada, papan-papan catur terhempas habis, penjual obat juga tidak lagi menggelegar, dan merpati-merpati balap entah terbang di langit mana bersama gemulai romantisme kakak-kakak penari meninggalkan karebosi. Semua lenyap. Yang tertinggal hanya beberapa Waria yang masih mengaku “bencong Karebosi”.
Mengembalikan semua hal tadi sungguh sulit. Setidaknya, apa yang dialami karebosi sebagai ruang terbuka yang paripurna tidak terjadi ditempat lain. Karebosi bisa menjadi contoh pengelolaan ruang terbuka yang baik. Dengan caranya, yang membuka peluang bagi siapapun untuk menikmati titik dimana hirarki sosial tidak berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H