Lihat ke Halaman Asli

Idris Daulat

Asosiasi Media Digital Indonesia

Segumpal Darah Berselimut Embun

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1376547836254805351

Rasa bisa kita terjemahkan dalam kata, namun selebihnya tidak mampu kita kemukakan secara gamblang. Tidaklah permasalahan perkara besar kecilnya rasa itu. Melainkan karena rasa adalah sesuatu yang tak mampu diraba dan dicerna mata, yang terkadang hanya bisa dirasa hingga rasa itu mengemuka menjadi sebuah gerak nyata.

Mengubah masa lalu yang gelap menjadi cahaya yang terang benderang memang tidak mudah. Saat hidayah-Nya “diulurkan”, saat itulah kaki kita mesti berlari, tangan kita mesti menggapai. Tak cukup duduk seperti menunggu hujan, melainkan sebuah proses mengumpulkan tetes embun demi embun hingga cukup mewudhukan raga dan jiwa. Sekalipun setelah hidayah ada di genggaman, perlu keistiqomahan melangkah pada jalan yang tak selamanya bertabur bunga, melainkan kadang kala dipenuhi duri hingga darah, begitu kata Buya Hamka.

Masa lalu yang buruk memang sering menghantui. Tapi bukan menjadi alasan bagi kita untuk tidak memilih yang baik dan tidak berbuat yang terbaik. Bukan menjadi alasan bagi kita untuk menolak karunia terbaik yang Allah berikan. Mari kita terus mengubah diri kita. Dan setiap awal perubahan itu sama seperti mendorong meja atau mobil. Berat diawal, namun setelah mampu menggeser beberapa inci, akan ringan segala beban yang dirasa. (Insan Sains)

Memilih yang terbaik diantara yang baik itu bukanlah hal yang mudah. Ada perasaan yang harus dikorbankan, ada keinginan yang harus digugurkan. Rengkuh tangan kita tak lebih besar dari lebarnya beringin keinginan-keinginan kita. Mustahil kita memeluk utuh sempurna. Semakin kita berusaha memiliki segalanya, semakin kita tak mendapatkan apa-apa.

Maka dari itu apapun bentuk permasalahan yang kita hadapi haruslah bisa memilih. Memilih antara dua pilihan yang memiliki arti bagi diri kita. Rangkumlah Percakapan hati dengan hati. Tak perlu lisan berbicara. Cukup air mata menjadi saksi. Maka cerita demi cerita kemudian menetes. Persis seperti embun yang meleleh terkena sinar mentari pagi.

Berserah totalitas, memusnahkan segala keraguan. Sehingga hanya akan ada satu keyakinan dan cinta. Yaitu yakin kepada Yang Maha Berkuasa dan mencintai Sang Pemberi Cinta. Cinta yang membuat kita yakin bahwa Allahlah pemberi kebahagiaan. Yakin bahwa Allah tak akan menyakiti hambaNya. Yakin bahwa Allahlah yang akan menolong.

Maka ketika keyakinan itu sudah ter-sibghah dalam diri. Tak akan lagi ada pertanyaan mengapa kita mesti shalat, mengapa kita mesti puasa, mengapa kita mesti menutup hijab, mengapa kita mesti menjaga pandangan, mengapa kita mesti ini, mengapa kita mesti itu, mengapa tidak boleh memakan daging babi, mengapa tidak boleh minum khamar, mengapa tidak boleh ini, mengapa tidak boleh itu.

Kalimat paling agung, kami dengar, dan kami taat. Maka saat itulah kebahagiaan mampu kita rengkuh. Yang akan terpancar pada wajah layaknya bayi yang tertidur tanpa beban (Insan Sains)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline