Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Sekolah Ramah Guru dan Tenaga Kependidikan

Diperbarui: 8 Mei 2024   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi guru di sekolah (kompas.com)

Oleh: IDRIS APANDI (Praktisi Pendidikan)

Kita sering mendengar istilah sekolah ramah anak. Bahkan ada sekolah-sekolah tertentu yang mendapatkan pelatihan serta dijadikan sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA). Sesuai Namanya, sekolah ramah anak harus benar-benar ramah kepada anak, khususnya peserta didik. Mulai dari lingkungan, sarana-prasarana, layanan guru dan tenaga kependidikan, serta proses pembelajaran. Tujuannya agar anak bisa aman dan nyaman belajar, terlindungi, bebas dari rasa takut. Sekolah menjadi lingkungan yang inklusif bagi setiap peserta didik.

Hal tersebut tentunya hal yang baik dan perlu didukung. Walau demikian, menurut saya, sekolah bukan hanya harus ramah terhadap anak (peserta didik), tetapi juga terhadap guru dan tenaga kependidikan.

Mengapa demikian? Karena guru dan tenaga kependidikan adalah ujung tombak layanan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Bagaimana model sekolah yang ramah terhadap guru dan tenaga kependidikan?

Pada dasarnya sama saja dengan keramahan yang diperlukan oleh peserta didik. Guru dan tenaga kependidikan memerlukan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Sarana dan prasarana pendukung kerja terpenuhi, terlindungi, bebas dari rasa tertekan dan rasa takut, bebas dari kebijakan yang menekan dan mengancam mereka.

Intinya, sekolah ramah guru dan tenaga kependidikan adalah sekolah yang mampu memberikan mereka kesejahteraan lahir dan batin bagi mereka.

Logikanya, bagaimana guru dan tenaga kependidikan dapat memberikan layanan yang ramah anak, kalau mereka sendiri bekerja dalam suasana yang tertekan dan dalam perasaan tidak aman serta tidak nyaman?

Tentunya akan sulit terwujud. Bagaimana mereka bisa fokus melaksanakan tugas, jika mereka pun masih berjibaku dengan kebutuhan dasar karena rendahnya honor yang mereka terima, khususnya bagi guru dan tenaga kependidikan honorer

Adalah benar perasaan bahwa syukur dan bahagia bukan dicari, tapi diciptakan. Walau demikian, bukan berarti mereka harus dipaksa terlihat bahagia dan bersyukur dalam kondisi yang sebenarnya bertentangan dengan kondisi nyata yang dialami oleh mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline