Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Mudik jelang lebaran menjadi tradisi yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia. Setelah 2020, 2021, dan 2022 kegiatan mudik terkendala karena Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, kini tidak ada lagi pembatasan dan penyekatan mudik. Semuanya boleh mudik dengan penuh suka cita.
Para perantau dengan suka cita mudik ke kampung halaman walau harus menempuh perjalanan jauh, menguras waktu, biaya, dan tenaga. Mengapa demikian?
Karena pengorbanan tersebut akan terbayar saat sampai ke kampung halaman. Para pemudik bisa berlebaran dengan orangtua dan sanak saudara serta bersilaturahmi dengan teman-teman lama.
Perantau rela menabung sekian lama agar uangnya bisa dibawa mudik atau ditransfer kepada di kampung halaman. Mudik bisa menjadi sarana menunjukkan kesuksesan setelah sekian tahun bekerja di kota.
Hal ini yang menjadi magnet orang desa untuk bekerja di kota. Melihat ada yang sukses bekerja di kota, maka tetangga atau temannya pun ingin bekerja di kota.
Pemerintah, aparat kepolisian, pemudik, dan berbagai pihak terkait tentunya berharap agar arus mudik berjalan dengan lancar. Berkaitan dengan hal tersebut, peran literasi dan numerasi sangat penting agar hal tersebut bisa terwujud.
Pemerintah tentunya sudah memprediksi berapa total pemudik dari berbagai wilayah. Ini adalah hajat nasional yang harus dijamin kelancaran dan keamanannya. Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung mulai dari perbaikan jalan, pemasangan rambu-rambu penunjuk jalan baik jalan utama maupun jalan alternatif, rest area, pos-pos pantau, pos kesehatan, ketersediaan BBM, dan sebagainya.
Selain itu, jumlah personil yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan mudik mulai dari petugas keamanan, petugas kesehatan, dan petugas bidang lainnya harus benar-benar diperhitungkan disesuaikan dengan kebutuhan karena mudik adalah aktivitas yang melibatkan jutaan orang dan jutaan kendaraan.