Dalam rangka meningkatkan minat dan daya baca siswa, sejak tahun 2015, Kemendikbud meluncuran Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Bentuk kegiatannya antara lain; pembiasaan membaca buku nonteks selama 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, baik membaca senyap maupun nyaring, baik terbimbing atau pun mandiri.
Lalu ada readhaton (membaca secara massal yang biasanya dilakukan di halaman sekolah), pembuatan jurnal atau laporan bacaan, pembuatan pohon literasi, pemanfaatan majalah dinding (mading), pemanfaatan perpustakaan sekolah, dan sebagainya. Bahkan untuk memotivasi sekolah melaksanaka GLS, diadakan berbagai lomba atau penghargaan terkait literasi bagi siswa dan guru penggerak literasi.
Awal gerakan ini diluncurkan tampak semarak. Setiap sekolah ingin memperlihatkan bahwa sekolahnya pun aktif menyelenggarakan GLS.
Mereka memosting berbagai kegiatan GLS di media sosial, mengikuti kegiatan literasi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun oleh lembaga swadaya masyarakat, dan menerbitkan buku hasil karya para guru dan siswa-siswanya.
Dalam perjalannya, GLS tampak terseok-seok di sekolah. Penyebabnya beragam. Antara lain; adanya rasa bosan dari guru penggerak dan siswa, kurangnya variasi sumber bacaan, kurangnya dukungan kepala sekolah, kurangnya dukungan dari rekan sejawat dari guru penggerak literasi di sekolah, kurangnya pembinaan pengawas, kurangnya sarana penunjang GLS, dan sebagainya.
Memang ada yang mencoba terus konsisten menggerakkan literasi di sekolahnya, tapi tidak sedikit yang pada akhirnya mati suri, dan sedikit dibangunkan kembali pada saat sekolah mau diakreditasi.
Baca juga: Keanehan Literasi di Daerah Perbatasan RI-Timor Leste
Pasca pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia awal Maret 2020, maka kegiatan belajar tatap muka di sekolah pun dihentikan, diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Konsekuensinya, kegiatan literasi secara langsung di sekolah pun terhenti. Tidak ada lagi aktivitas membaca 15 menit sebelum pembelajaran dan aktivitas lainnya terkait literasi.
Ada guru yang mencoba menghidupkan Gerakan literasi secara daring/ digital, tetapi kendala kepemilikan smartphone/laptop, buku/sumber bacaan, terlebih kendala kuota internet di kalangan siswa menjadikan hal tersebut berjalan kurang optimal. Jangankan untuk menjalankan aktivitas membaca buku nonteks sebagai "suplemen" dalam kegiatan dalam pembelajaran, untuk mempelajari materi pokok dalam pelajaran saja, banyak siswa yang mengalami kendala sinyal dan kuota internet.
Disaat geliat literasi di kalangan siswa mengalami penurunan, justru saya melihat geliat gerakan literasi di kalangan guru. Banyak guru yang pada akhirnya terpaksa atau dipaksa mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) karena tuntutan pengelolaan pembelajaran secara daring. Banyak webinar yang diikuti oleh guru sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan mereka. Dengan kata lain, di masa pandemi ini, ada tren peningkatan aktivitas literasi digital di kalangan guru.
Hal ini tentunya adalah tren yang cukup baik, walau sebenarnya tanpa ada pandemi Covid-19 pun, para guru sudah selayaknya meningkatkan wawasan dan keterampilannya dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, atau ada hikmah dibalik musibah. Walau terkesan apologi, tetapi hal tersebut bisa menjadi sebuah representasi adanya peningkatan semangat belajar bagi para guru dalam penguasaan TIK. Apalagi saat ini trennya adalah guru penggerak untuk mewujudkan merdeka belajar bagi para siswa.