CORONA DAN NASIB PEDAGANG KECIL
"yur... sayur.... sayur bu..." suara nyaring itu keluar dari seorang perempuan yang berdiri di depan gerbang rumahku sambil membawa wadah plastik besar. "sini masuk bu..." Kupersilakan perempuan itu masuk ke halaman rumahku. "ada sayur apa saja bu?" tanyaku kepadanya. "ada sayur kacang, nangka, tahu, dan cabe bu.." Jawabnya, sambil menurunkan wadah plastik yang dijinjingnya.
"saya beli sayur tahu 1 bungkus dan sayur nangka 1 bungkus ya bu. Jadi berapa semuanya?" ucapku kepada ibu tukang sayur. "ini bu. Semuanya jadi 10 ribu." Ucapnya sambil menyerahkan dua bungkus sayur. "ini bu uangnya." Aku menerima sayurnya sambil menyerahkan uang selembar Rp10.000,00. "Makasih bu." Ucap ibu tukang sayur sambil beranjak pergi.
Aku perhatikan, hampir setiap pagi antara pukul 06.00 s.d. 07.00, ada sekitar lima pedagang keliling yang melewati rumahku. Ada yang dagang gorengan, kue, roti, sayuran, nasi kuning, dan sebagainya. Itu baru di pagi hari. Belum siang dan sore hari, para pedagang keliling itu datang silih berganti.
Kadang aku suka beli dagangan mereka, tapi kadang aku tidak beli. Aku tak mungkin membeli dagangan mereka semuanya, karena disamping aku belum tentu perlu, aku juga harus mengatur keuanganku. Apalagi saat ini, dimana sekolah dan kerja diliburkan, aku harus benar-benar mengelola keuangan keluargaku dengan baik. Bahkan, justru kalau semua anggota keluarga kumpul semuanya, pengeluaran jadi membengkak.
Alhamdulillah, aku beserta keluargaku masih bisa diam di rumah, menuruti imbauan pemerintah, untuk mencegah terkena virus Corona. Sesekali aku keluar rumah untuk belanja keperluan saja. Kalau uangnya Sudah mau habis, aku tinggal "menggesek" kartu ATM saja. Kebetulan aku masih ada sedikit tabungan yang bisa digunakan sebagai bekal selama 14 hari libur.
Nasibku mungkin sedikit lebih baik dibandingkan dengan nasib para pedagang keliling itu. Di saat darurat ini, mereka tetap harus keluar rumah untuk mencari nafkah. Kalau tidak mencari nafkah, dapur mereka bisa tidak ngebul. Ada anak dan istri yang menunggunya membawa uang untuk dibelikan beras dan makanan lainnya.
Ada juga perempuan, single parent yang menafkahi anak-anaknya dengan berdagang. Belum lagi, mereka yang meminjam uang kepada rentenir yang suka disebut "bank emok" berpacu dengan waktu harus membayar cicilan, karena walau sedang ada wabah virus Corona, "bank emok" tidak tahu menahu urusan itu. Hal yang mereka tahu adalah orang-orang meminjam uang itu harus membayar tepat waktu. Kalau menunggak, maka cicilannya jadi membengkak karena ditambah dengan denda.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya sangat beresiko untuk diri mereka sendiri, untuk keluarganya, dan orang lain. Mereka bisa tertular dan bisa menjadi perantara penularan bagi orang lain. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan social distancing atau jaga jarak, membatasi berinteraksi dengan orang lain. Aku yakin, mereka tahu risiko itu, tapi mau bagaimana lagi? Urusan perut tidak bisa dianggap enteng. Orang lapar perlu nasi, bukan perlu nasihat. Kalau sudah kenyang, baru bisa diberi nasihat.
Aku berpikir, kalau pemerintah mau menerapkan social distancing, maka perlu disertai dengan social interest (kepedulian sosial) dan social responsibilities (tanggung jawab sosial). Orang-orang disuruh diam di rumah, kebutuhan pokoknya dijamin tersedia. Terus, sesama tetangga perlu saling memperhatikan, siapa tahu ada yang terpaksa diam di rumah, tapi tidak memiliki bekal makanan di rumahnya.
Di saat prihatin seperti saat ini, budaya gotong royong dan kepedulian sosial memang perlu ditumbuhkan, dan ketahanan pangan harus diperhatikan. Pemerintah saat ini tengah bekerja keras mencari solusi agar wabah ini segera berakhir, tapi masyarakat pun disamping harus taat terhadap instruksi dari pemerintah untuk menjaga jarak dengan sesama orang, tidak keluyuran, beribadah, bekerja, dan belajar di rumah. Dan, yang perlu diperhatikan adalah supaya setiap warga bisa makan. Jangan sampai ada yang kekurangan makan, termasuk para pedagang keliling itu.