Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Menulis sebagai Terapi Jiwa

Diperbarui: 30 Januari 2020   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi menulis catatan harian. (sumber: everydayplus via kompas.com)

Pernahkah Anda memperhatikan orang yang sedang kasmaran ujug-ujug rajin menulis puisi atau menulis kata-kata romantis, padahal sehari-harinya dia tidak terlalu aktif menulis bahkan jarang menulis? Pernahkah Anda juga memperhatikan orang yang sedang kesal tiba-tiba menulis status di media sosialnya yang isinya menumpahkan kekesalannya?

Orang yang sedang kasmaran rajin menulis puisi atau kata-kata romantis dengan untuk menggambarkan suasana hatinya yang sedang merindukan seseorang yang dicintainya. Orang yang sedang marah meluapkan kemarahannya melalui curhat atau bahkan uring-uringan. Walau dia sendiri tahu tulisannya tersebut belum tentu dibaca atau menjadi solusi dari masalah yang dihadapinya.

Bagi orang yang kritis terhadap situasi bangsa dan negara, dia akan banyak menulis tentang kegalauannya terhadap situasi dan kondisi yang menurutnya tidak sesuai dengan janji-jani para politisi dan pemimpin saat kampanye pemilu. Korupsi, penegakkan hukum, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, dan pelayanan publik merupakan isu-isu yang suka menarik perhatian para analis.

Orang yang sedang sakit atau terkena musibah menulis doa atau minta doa dari teman-teman di dunia maya agar sakitnya segera sembuh. Orang yang melihat sebuah peristiwa misalnya bencana atau kecelelakaan, dia melaporkannya melalui tulisan disertai dengan foto dengan videonya.

Berbagai ekspresi tersebut merupakan sebuah gambaran dimana kondisi psikologis, pola pikir, atau keadaan seseorang mempengaruhi aktivitasnya, termasuk menulis sebagai salah satu bentuk kompensasi atau pelampiasannya. 

Bagi pelakunya, dia mungkin merasa plong dengan tulisan yang dia buat. Walau demikian, saat ini harus hati-hati dalam menulis status atau artikel, jangan sampai menyinggung SARA, karena bisa melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ketika seseorang merasa plong atau senang setelah dia menulis, berarti dia telah menjadikan menulis sebagai terapi, upaya pengobatan terhadap penyakit dalam dirinya, atau sedikitnya beban pikirannya bisa lebih ringan karena telah berbagi keluh kesah kepada orang lain melalui media sosial. 

Diharapkan orang yang membacanya ikut mendoakan, ikut memotivasi, dan memberikan kekuatan batin baginya dalam menghadapi masalah.

Zaman saat belum adanya media sosial seperti FB, Twitter, WA, atau IG, banyak yang menulis menggunakan buku harian atau diary untuk sekadar menulis aktivitas hariannya atau mencurahkan isi hatinya. 

Tidak sembarang orang bisa membaca diary-nya tersebut, karena ada hal-hal yang rahasia yang tercantum pada buku tersebut, kecuali orang-orang yang dipercayai oleh si pemilik diary.

Zaman penjajahan Belanda, RA Kartini mencurahkan isi hatinya melalui surat-surat yang ditulisnya kepada temannya di negeri Belanda. Itu adalah gambaran bahwa tulisan dapat menjadi media untuk menyalurkan isi hati, mendapatkan ketenangan batin, dan mencari solusi dari masalah yang dihadapi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline