Suatu hari, saya pergi ke sebuah tempat dengan tujuan membeli sarapan pagi. Dari rumah menuju lokasi tidak terlalu jauh, dengan mengendarai sepeda motor hanya perlu waktu 5-7 menit. Sampailah saya ke lokasi yang dituju.
Tempat yang pertama yang saya tuju adalah gerobak tukang kupat tahu. Disana ada dua orang yang tampak sibuk melayani para pembeli. Mereka tampak seperti ibu dengan anaknya yang masih remaja. Saya pun menyampaikan bahwa saya memesan kupat tahu sebanyak dua bungkus.
Saya beberapa saat menunggunya, lalu sang penjual (yang saya sangka sebagai anaknya si ibu) berkata kepada saya, "10 ribu pak". Lalu saya mengeluarkan selembar uang Rp 10 ribu rupiah dari dompet saya, lalu menyerahkannya pada sang anak tersebut. Saya kira dia akan mengucapkan terima kasih setelah menerima uang tersebut, tetapi ternyata tidak.
Dia berlalu begitu saja dengan wajah yang kurang ramah. Boro-boro mengucapkan ijab-kabul (mengucap "saya serahkan kupat tahunya, dan saya terima uangnya" disertai dengan wajah ramah), sebatas mengucapkan terima kasih pun tidak.
Sang ibu pun tidak mengucapkan terima kasih dan tampak melayani pembeli yang lain. Sambil menerima kantong keresek yang berisi dua bungkus kupat tahu tersebut, hati saya agak gondok, karena kurang mendapatkan pelayanan yang ramah dari pembeli (apapun alasannya, pembeli tidak mau melihat penjual atau pelayan yang jutek).
Setelah itu, saya pun meninggalkan gerobak kupat tahu dan menuju ke gerobak tukang bubur ayam. Lalu saya pun memesan sebungkus bubur ayam. Sang penjual melayani dengan cepat dan cekatan. Hanya beberapa saat, bubur ayam yang dipesan sudah siap. Sang penjual berkata kepada saya, "10 ribu pak".
Lalu saya pun mengeluarkan selembar uang Rp 10 ribu dari dompet. Dia dengan wajah sumringah menerimanya disertai ucapan terima kasih. "Hatur nuhun (terima kasih) Bapak", katanya. Saya meninggalkan gerobak tukang bubur ayam dengan senang hati karena mendapatkan pelayanan yang ramah.
Setelah kejadian itu, saya mempertimbangkan mencari tukang kupat tahu baru jika suatu saat saya mau membeli kupat tahu dan akan membeli lagi bubur ayam di tempat yang sama. Mengapa demikian? Karena saya menerima dua perlakuan yang berbeda. Pedagang kupat tahu kurang ramah dan pedagang bubur ayam ramah dan tahu terima kasih.
Peristiwa yang saya alami di atas menjadi pelajaran bagi saya untuk tahu terima kasih atas perhatian, bantuan, pertolongan, atau pelayanan orang lain. Kata "terima kasih" menjadi salah satu "kata ajaib" selain kata "tolong" dan "maaf". Oleh karena itu, kata tersebut perlu diajarkan dan dibiasakan baik kepada anak, peserta didik, atau siapapun. Kata terima kasih selain sebagai ungkapan rasa sukur, juga menyenangkan hati pemberi bantuan atau layanan. Sekecil apapun bantuan seseorang, jangan lupa mengucapkan terima kasih terhadapnya. Dia pun akan senang membantu lagi jika suatu saat dimintai bantuan.
Kata "terima kasih" digunakan untuk melarang atau menolak secara halus, seperti "terima kasih tidak membuang sampah sembarangan" atau "terima kasih atas undangannya, tapi dengan menyesal saya tidak bisa hadir sehubungan ada kegiatan yang bentrok." Dengan demikian, akan menciptakan kenyamanan secara psikologis dari orang yang dilarang atau ditolak undangannya.
Bahkan kata "terima kasih" dapat menjadi sebuah sindiran atau ironi bagi pihak yang pernah menyakiti perasaan, misalnya "Terima kasih atas hinaanmu, karena hal tersebut menjadi penyemangatku untuk berkarya menghasilkan yang terbaik dan jalan bagiku untuk menggapai suskes."