Wacana yang disampaikan oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani pada saat Musrenbangnas tahun 2019 (09/05/2019) yang akan mengundang (kalau di media heboh dengan kata mengimpor) guru dari luar negeri mengundang polemik, khususnya di kalangan guru.
Wacana tersebut dianggap kurang menghargai guru Indonesia yang telah bekerja keras dan berjuang dengan segala daya dan upaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
Polemik ini pun telah diklarifikasi oleh Mendikbud Muhadjir Effendy (melalui berita yang beredar di WA grup) dan di beberapa media online yang mengatakan bahwa maksud Menko PMK adalah bukan mengimpor dalam artian memobilisasi atau mendatangkan guru secara masif dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia, tetapi mendatangkan pelatih atau instruktur dari luar negeri untuk melatih guru-guru di Indonesia, khususnya pada jenjang SMK dan Balai Latihan Kerja (BLK). Selain itu, hal ini juga untuk peningkatan implementasi Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM) dalam pembelajaran untuk menyikapi revolusi industri 4.0 dan menyiapkan generasi emas Indonesia 2045.
Mendatangkan guru atau pelatih dari luar negeri biayanya jauh lebih murah dibandingkan memberangkatkan guru belajar atau kursus ke luar negeri. Walau demikian, Mendikbud menyampaikan bahwa pengiriman guru ke luar negeri untuk kursus jangka pendek juga tetap dilakukan.
Setelah sebanyak 1200 orang, mudah mudahan bisa segera diberangkatkan kembali, sehingga target pengiriman guru kursus ke luar negeri 7000 orang tahun ini bisa tercapai.
Wacana mendatangkan guru dari luar negeri khususnya pada pendidikan vokasi tidak lepas dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa dari 7 juta pengangguran terbuka per Agustus 2018, 11,24 persennya merupakan lulusan SMK. (Kompas, 15/01/2019).
Mengapa banyak lulusan SMK banyak yang menganggur? menurut saya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. (1) kompetensi lulusan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang diperlukan oleh dunia kerja yang berjalan begitu dinamis. (2) kurikulum pendidikan di SMK yang belum mampu merespon kebutuhan dunia industri sangat sangat cepat berubah, (3) rendahnya jiwa wirausaha lulusan SMK, karena proses pendidikan di SMK lebih banyak menyiapkan lulusannya mencari pekerjaan daripada membuka lapangan sendiri.
(4) banyak guru, utamanya guru SMK yang kurang mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi atau pengalamannya sehingga berdampak terhadap cara mengajarnya di kelas, (5) sarana dan prasarana sekolah banyak yang jadul alias belum sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dan (6) mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian SMK yang dikelola oleh masyarakat, sehingga banyak SMK yang kondisi sarana dan gurunya kurang represetantif, tetapi masih bisa beroperasi dan menghasilkan lulusan. Selain guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya (mismatch), banyak SMK yang kekurangan guru-guru produktif yang merupakan "ruhnya" proses pendidikan di SMK.
Menurut saya, tujuan pemerintah pada dasarnya baik, yaitu untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing bangsa dalam percaturan global. Walau demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan, antara lain; (1) sebelum mendatangkan guru atau pelatih dari luar negeri apakah tidak sebaiknya putra-putra terbaik bangsa yang saat ini banyak mengajar di luar negeri diminta pulang dan mengajar di dalam negeri? Hal ini sebagai bentuk nasionalismenya terhadap NKRI.
(2) pemerintah harus bisa memastikan bahwa guru atau pelatih dari luar negeri hanya mengajar pada mata pelajaran umum atau teknis, tidak berkaitan dengan ideologi dan agama, karena hal tersebut akan sangat riskan dan sensitif kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa, (3) perbaiki manajemen kurikulum pendidikan nasional sehingga mampu menjawab tantangan zaman, (4) tingkatkan kompetensi guru, (5) benahi kualitas Lembaga Pendidik Tenaga Pendidikan (LPTK).