Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Menjadi Pemilih Pilpres yang Literat

Diperbarui: 4 Januari 2019   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MENJADI PEMILIH YANG LITERAT

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

 

Pemilu serentak 2019 tinggal beberapa bulan lagi. Sedianya, hajat demokrasi ini akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Pemilu seretak 2019 merupakan pemilu serentak pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia. Disebut pemilu serentak karena disaat yang sama, para hak pilih akan memilih (mencoblos) lima surat surat suara sekaligus, yaitu memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Dari kelima pemilihan tersebut, nampaknya pemilihan presiden dan wakil presiden yang paling panas dan paling menyedot perhatian. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Jokowi  - KH Ma'ruf Amin nomor urut 01 dan pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno nomor 02. Di masa kampanye ini, pemberitaan media hampir setiap hari tidak lepas dari kegiatan kampanye dan perang urat saraf para kandidat beserta tim suksesnya. Bahkan sebelum masa kampanye digulirkan, para urat saraf dan perang propaganda pun sudah banyak dilakukan, dan di masa kampanye ini intensitas semakin banyak dan semakin panas.

Penyampaian janji-janji politik merupakan hal yang biasa dalam proses kontestasi pemilu. Kampanye negatif (negatif campaign) pun menjadi alat untuk menyerang kelemahan masing-masing kubu. Kubu petahana tentunya menyampaikan kesuksesan yang telah dicapai, dan pihak penantang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh kubu petahana.

Aksi saling kritik dan saling bantah menjadi hal yang sering terjadi antara dua kubu yang bersaing meraih simpati  rakyat. Dua-duanya sama ingin meraih kekuasaan untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Berbagai tempat mulai dari pasar hingga pesantren menjadi sarana untuk blusukan menebar janji kampanye.

Walau demikian, hal yang membuat miris adalah ketika masa kampanye pemilu ini adalah ketika hoaks dan fitnah semakin merajalela. Kampanye pun bukan lagi perang ide atau gagasan, tetapi sudah menyerang kepada individu. Kekurangan fisik lawan, kesalahan dan kekeliruan dalam menyampaikan sebuah pernyataan dijadikan sarana untuk menjatuhkan.

Hoaks dan fitnah digoreng untuk membunuh karakter lawan. Beberapa waktu yang lalu muncul hoaks penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet. Beritanya viral dan menjadi menjadi perhatian publik. Hal ini dikaitkan dengan persaingan pada pilpres 2019. Praduga, bahkan prasangka muncul dari satu kubu kepada kubu yang lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline