Dunia pendidikan Indonesia telah kehilangan salah satu putera terbaiknya. Dialah Prof. Dr. H. Mohamad Surya, seorang guru, akademisi, dan tokoh pendidikan yang pernah menjabat sebagai ketua PGRI dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI wafat pada tanggal 13 November 2018 pukul 20.30 WIB karena sakit.
Kehidupan dan karirnya sejak bekerja sebagai guru SD tahun 1958 sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan kata lain, pendidikan sudah menjadi nafas dan mengalir dalam darahnya. Jika bicara tentang pendidikan, khususnya tentang guru, Beliau sangat menguasai dan menghayatinya.
Keberpihakanya kepada guru tidak perlu diragukan lagi. Beliaulah yang menemui 4 presiden RI, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Puteri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperjuangkan nasib guru, hingga lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan saat ini para guru menikmati Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Dari sosok Mohamad Surya, menurut saya, sedikitnya ada enam pelajaran yang didapatkan, antara lain; Pertama,Pendidik profesional. Sosok Mohamad Surya yang memulai karirnya sebagai guru sejak tahun 1958 telah mewakafkan dirinya untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Sudah ribuan bahkan jutaan lulusan yang lahir dari tangan dinginnya sebagai pendidik.
Saya sendiri bukanlah siswa atau mahasiswa yang pernah dididiknya, tetapi saya merasa seperti murid atau mahasiswanya. Saya pernah "belajar kilat" kepadanya dalam dua kali pertemuan dengannya pada seminar pendidikan tahun 2016. Sebagai seorang peserta seminar, saya merasakan bahwa setiap pembicaraannya memiliki "ruh" dan kekuatan yang luar biasa sehingga mampu memukau peserta.
Mengapa? Karena kata-katanya keluar dari hati dan berbasis pengalaman dimana beliau telah makan asam garam di dunia pendidikan, Beliau sangat paham dengan kondisi riil di lapangan, selalu memotivasi guru, dan tidak pernah ngabisani (menganggap enteng) profesi guru.
Bagi murid-muridnya, baik bagi muridnya waktu di sekolah, mahasiswanya di kampus, maupun murid dadakan seperti saya, namanya pasti akan berada dalam hati sanubarinya. Berkaitan dengan guru, pada artikel yang ditulisnya di Harian Pikiran Rakyat, tanggal 10 Juni 2018, Beliau menyatakan bahwa ada empat tipe guru. Yaitu, guru aktual, guru harmonis, guru karakter, dan guru kalbu.
Guru aktual adalah guru yang secara nyata sebagai guru yang melaksanakan berbagai peran dan tugas sebagai guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, dalam batinnya tidak seluruh penampilan kinerjanya berbasis pada jiwa, semangat, dan nilai sebagai guru. Ia melaksanakan tugas semata-mata karena tuntutan formal guru.
Guru harmonis adalah guru yang tampil sebagai guru dengan kemampuan memanipulasi kondisi dirinya untuk tampil sebagai guru yang baik. Dengan demikian, ia tampak harmonis sebagai guru meskipun tidak seluruhnya bersumber dari kondisi pribadi yang dituntut sebagai guru.
Guru karakter adalah sosok guru yang mewujud berbasis karakter yang melekat pada dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kepribadiannya yang telah terbentuk sejak masa kecil dan bukan terbentuk karena pelatihan seperti PLPG, dan sebagainya.
Guru kalbu sebagai kategori tertinggi adalah guru yang penampilannya berbasis kualitas kalbu. Hatinya tulus ikhlas sehingga menjadi guru adalah bagian dari kebajikan yang tertanam dalam kalbunya. Ada tujuh karakteristik yang menjadi sumber bagi terwujudnya guru kalbu. Pertama, faith atau keyakinan yang sunguh-sungguh difahami, dihayati, dan diamalkan dalam keseluruhan perilakunya sebagai guru.