Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Pendidikan Karakter dari Seorang Tukang Mi Ayam

Diperbarui: 11 Oktober 2018   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDIDIKAN KARAKTER DARI SEORANG TUKANG MIE AYAM

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat/Penulis Buku Gerakan Literasi dan Penguatan Pendidikan Karakter)

Suatu hari, setelah saya menjadi pemateri workshop peningkatan profesionalisme guru di sebuah gedung di kota Cimahi, perut saya pun terasa lapar. Ketika saya bergegas akan pulang, di depan tempat kegiatan ada tukang mie ayam. Perut saya yang lapar pun terasa semakin lapar. Langkah kaki saya yang asalnya mau ke tempat parkir, berbelok ke arah gerobak mie ayam tersebut. "Mas, bikin 1 (mangkok) ya" pinta saya sambil duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau. "siaaaap..." jawab sang mas penjual mie ayam dengan wajah yang ramah.

Saya pun menunggu tidak terlalu lama. Kebetulan saat itu memang sedang sepi. Saya satu-satunya pembeli saat itu. "Ini pak" kata mas penjual mie ayam sambil menyodorkan semangkuk mie ayam yang tampak panas berasap. Dengan semangat saya pun menerimanya. Ingin sekali segera menyantapnya karena lapar dan tergoda oleh wangi mie ayam.

Sambil makan mie ayam, saya mulai bertanya kepadanya. "sejak kapan mangkal disini mas?", lalu dia menjawab, "sudah dua tahun mas (dia memanggil saya "mas" padahal saya bukan Jawa)." Saya bertanya lagi, "gimana jualan disini mas? Ramai?", "Alhamdulillah, ramai mas. Banyak yang beli dari warga komplek dan tamu-tamu yang datang ke sini." "sebelum di sini, mangkal dimana?", tanyaku lagi padanya. Lalu dia menjawab, "awalnya saya ikut dagang di jalan Gandawijaya. Setelah itu, saya mencoba berdagang sendiri. Keliling-keliling komplek dan perkantoran sambil mendorong gerobak mie ayam hingga akhirnya saya mangkal di sini mas." Jawabnya dengan penuh antusias.

Melihat sikapnya yang antusias dan tampaknya supel dan senang ngobrol, maka saya pun ingin bertanya lebih lanjut. "Kapan pertama kali datang ke Cimahi mas?" tanyaku kepadanya. Dia yang awalnya berdiri, lalu duduk di depan saya. "Saya dari Jawa (tidak menyebut asal kotanya) datang ke Bandung tahun 2008. Ikut jualan beras bersama kakak saya di pasar Sederhana. Terus saya mencoba jualan sendiri, tapi bangkrut karena tertipu orang hingga 100 juta rupiah. Saya pernah mencoba usaha kredit alat-alat dapur sampai ke daerah Cisarua dan Parongpong, tapi kredit macet, banyak yang tidak bayar. Akhirnya usaha saya pun bangkrut."

Dia sejenak membetulkan menggeser posisi duduknya, dan melanjutkan ceritanya. "terus saya pernah ikut jualan bakso malang bersama dengan beberapa orang lainnya. Kami tinggal di kontrakan yang sempit dan kurang bersih. Kontrakan tersebut selain tempat untuk istirahat, juga tempat untuk meracik bahan-bahan bakso malang. Mau ibadah (salat) saja susah, tempatnya kotor. 

Batin saya tidak tenang, untuk apa saya usaha tetapi tidak bisa beribadah dengan nyaman? Akhirnya saya pun berhenti jualan bakso malang. Saya ingin punya usaha yang bisa beribadah dengan tenang. Biar berkah mas", tegasnya.

Mendengar perjelasannya tersebut, sambil sesekali makan mie ayam yang dibuatnya, saya dalam hati berkata "ini orang fondasi agamanya bagus juga. Bicara usaha tidak sekedar bicara penghasilan, tapi juga mengaitkannya dengan masalah ketenangan beribadah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline