Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Pendidikan Karakter Itu Sederhana, Lakukan Melalui Keteladanan

Diperbarui: 30 Agustus 2018   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Krisis karakter dan jati diri bangsa banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Berbagai perilaku menyimpang secara kasat mata dengan mudah dijumpai, misalnya orang melanggar rambu-rambu lalu lintas, membuang sampah sembarangan, semakin lunturnya sopan dan santun, umpatan, cacian, dan ucapan-ucapan kasar yang banyak tersebar di media sosial.

Lalu muncul potensi munculnya disintegrasi sosial akibat beda pilihan politik dan kesenjangan sosial yang terasa semakin menganga antara orang kaya dan orang miskin. Begitupun masalah penyalahgunaan narkoba, peralihan budaya pola pikir dan pola hidup masyarakat yang semakin individualistis, materialistis, dan konsumtif sebagai dampak negatif dari arus globalisasi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah semua pihak, bukan hanya pemerintah saja, tetapi juga keluarga, dan masyarakat secara umum.

Menyikapi hal tersebut, maka pemerintah, melalui Kemdikbud melaksanakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Sebenarnya hal ini tidak hanya dilakukan pemerintah saat ini, tapi sejak negara ini berdiri, pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral, atau apapun namanya sudah dilakukan. Intinya sama, yaitu ingin membentuk warga negara yang cerdas dan berkarakter.

Salah satu amanat pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa NKRI berdiri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas ini bukan hanya cerdas intelektual, tapi juga cerdas spiritual, cerdas moral, dan cerdas sosial. 

Dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Pertanyaannya adalah di satu sisi pendidikan karakter telah dijalankan melalui berbagai model dan strategi, tetapi di sisi lain, karakter bangsa Indonesia belum tercermin seperti yang diharapkan dalam Undang-undang Sisdiknas. 

Bahkan justru kondisinya makin mengkhawatirkan. Saya melihat bahwa penyebab utama dari belum berhasilnya pendidikan karakter adalah minusnya keteladanan, baik dari pemimpin, orang tua, atau orang dewasa secara umum, sehingga para generasi muda kehilangan figur teladan (role model) yang bisa dicontoh. Akibatnya, mereka mencari idola sendiri, yang justru idolanya adalah tokoh-tokoh yang meracuni pola pikir mereka.

Para remaja banyak yang sudah tidak hapal Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan nama pahlawan nasional. Mereka justru lebih hapal lagu-lagu pop yang lagi hits dan nama artis atau selebritis fenomenal. Mengapa demikian? Karena faktor media yang banyak mengeksposenya dan mudah diakses melalui gawai. 

Walau ukuran nasionalisme bukan hanya sekedar hapal Pancasila, hapal Lagu kebangsaan Indonesia Raya, atau hapal nama-nama Pahlawan nasional, tetapi hal itu setidaknya menjadi beberapa indikator sejauhmana kepedulian generasi bangsa terhadap bangsa dan negaranya sendiri.

Proklamator kemerdekaan RI Bung Karno pernah mengatakan "jasmerah" atau jangan sesekali melupakan sejarah. Artinya, dari sejarah, generasi muda bisa belajar bagaimana proses perjuangan mencapai kemerdekaan yang hingga saat ini dinikmati dan bagaimana pula cara untuk mengisi kemerdekaan melalui hal-hal yang positif.

Para pemimpin perjuangan kemerdekaan memberikan teladan dengan mengorbankan waktu, tenaga, pemikiran, harta, bahkan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi saat ini apa yang terjadi? Korupsi terjadi di berbagai tingkat pemerintahan, konflik dan gontok-gontokkan karena nafsu meraih kekuasaan. Konflik elit politik berimbas kepada para pendukungnya di barisan akar rumput (grass root). Akibatnya kondisi kehidupan bermasyarakat menjadi kurang kondusif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline