Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Dai dan Tradisi Menulis

Diperbarui: 25 Mei 2018   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Kegiatan dakwah Islam tidak lepas dari peran seorang dai. Dai adalah sebutan sebutan bagi pendakwah atau penceramah. Dai dulu dikenal dengan ceramah-ceramah di atas mimbar seperti KH Zainuddin MZ yang dijuluki dai sejuta umat dan KH AF Ghazali yang sangat dikenal di masyarakat Sunda. Ceramah-ceramah mereka banyak digemarikaset ceramahnya laris manis. Setiap pagi, banyak radio yang memutar ceramahnya. Gaya ceramahnya pun banyak diidolakan serta dijadikan rujukan bagi kalangan santri yang sedang belajar ceramah.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka para dai pun berdakwah melalui media sosial. Kita saat ini mengenal dai-dai seperti KH Quraish Shihab, KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Najib, KH Abdullah Gymnastiar, Ust. Muhamad Arifin Ilham, Ust. Yusuf Mansur, Ust. Abdul Somad, Ust. Adi Hidayat, Ust. Evi Effendi, dan lain-lain yang tausiyahnya banyak tersebar di media sosial, baik dalam bentuk video maupun dalam bentuk artikel.

Tradisi menulis memang tidak bisa dilepaskan dari karakter seorang dai atau ulama. Para ulama terdahulu seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Nawawi adalah ulama penulis. Mereka mengarang puluhan judul kitab yang sampai saat ini dijadikan sebagai kajian wajib di pesantren-pesantren. Hal itu sebagai bagian dari kegiatan dakwah bilkalam atau dakwah melalui tulisan.

Seorang dai memang diharapkan selain piawai dalam ceramah juga piawai dalam menulis. Buku-buku karya KH Quraish Shihab, KH Mustofa Bisri, KH Abdullah Gymnastiar, Ust. Yusuf Mansur, Ust. Evi Effendi, Ust. Aam Amiruddin, Ust. Abdul Somad, dan sebagainya banyak dijual di toko-toko buku. Walau demikian, jumlah dai penulis bisa dikatakan masih sedikit dibandingkan dengan dai yang hanya piawai ceramah. 

Ketika khutbah pun, banyak yang masih menggunakan buku-buku khutbah daripada menyusun bahan sendiri. Jangankan di lingkungan dai, di lingkungan guru, dosen, atau widyaiswara pun tidak selalu piawai presentasi juga piawai menulis.

Dai penulis memiliki keunggulan disamping dai yang hanya piawai ceramah, karena dia bisa menggunakan media tulisan sebagai lahan dakwah. Selain itu, melalui tulisan, kedalaman ilmunya bisa lebih terlihat, sistematika penyajiannya pun akan lebih sistematis.

Yang saya tahu di pesantren-pesantren tradisional memang diajarkan ilmu nahwu dan sharaf sebagai alat untuk membaca kitab-kitab kuning, tetapi tidak diajarkan untuk menulis. 

Yang diajarkan hanya berlatih untuk ceramah dengan menyampaikan dalil-dalil dari Alquran, hadits, atau pendapat ulama, sehingga ketika terjun ke masyarakat kemampuan ceramahnya lebih menonjol dari kemampuan menulisnya, sedangkan dai-dai lulusan dari Perguruan Tinggi, mereka memang akrab dengan penulisan karya ilmiah, sehingga banyak diantara yang disamping piawai ceramah juga seorang penulis buku-buku agama. Walau demikian, ada juga kyai-kyai dari pesantren tradisional yang dikaruniai kemampuan menulis kitab atau buku-buku agama. Hal tersebut tentunya sebuah bakat alam dan anugerah dari Allah Swt.

Saat ini sudah banyak sarana sebagai media dakwah secara tertulis. Selain buku, koran, dan majalah, juga melalui media sosial. Hal ini tentunya menjadi peluang untuk semakin menyebarluaskan dakwah. Baik dakwah melalui ceramah maupun melalui tulisan tentunya memiliki segmen-segmen jamaah masing-masing. 

Kalau masyarakat di pedesaan akan lebih banyak menyukai dai yang piawai ceramah yang banyak dibumbui humor, sedangkan pada masyarakat perkotaan, pada umumnya menyukai tipe dai yang walau ceramahnya tidak terlalu "atraktif", tapi mampu menjelaskan suatu permasalahan secara rinci dan mendalam. Adapun karya-karya tulis para dai biasanya banyak dibaca oleh para mahasiswa, santri, aktivis dan peminat masalah keagamaan.

Untuk melahirkan dai-dai penulis, sebaiknya di pesantren-pesantren selain diajarkan metode ceramah, juga diajarkan cara menulis karena hal tersebut disamping untuk menambah kemampuan para santri, juga sebagai bekal mereka ketika suatu saat menjadi penceramah di masyarakat, selain dakwah billisan juga bisa dakwah bilkalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline