Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Pesan Kemanusiaan dari Tanjakan Haur Ngambang

Diperbarui: 16 Maret 2018   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PESAN KEMANUSIAAN DARI TANJAKAN HAUR NGAMBANG

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

 

Sore itu, sekitar pukul 17-an, sepulang kerja aku melintas tanjakan haur ngambang. Tanjakan tersebut berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat (Kecamatan Batujajar) dan Kota Cimahi (Kecamatan Leuwigajah). Walau kondisinya sangat curam dengan kemiringan sekitar 80 derajat dan cukup sempit dilalui jika ada dua kendaraan roda empat yang berpapasan, tetapi tanjakan tersebut memang suka dijadikan sebagai jalan alternatif para pengguna jalan yang ingin memotong jalan dan mempercepat waktu tempuh.

Aku kebetulan mengendarai sepeda motor dari arah Leuwigajah Cimahi menuju ke rumahku yang berada di daerah Cililin. Jadi posisiku menurun. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan rendah karena kondisi jalan yang menurun tajam membuat setiap pengendara memang harus hati-hati. Di pinggir sebelah kiri jalan ada plang peringatan bahwa setiap pengendara harus hati-hati dan menggunakan gigi rendah untuk mengantisipasi kecelakaan. Pengendara dari arah bawah pun harus memastikan kendaraannya layak jalan karena kondisi tanjakan yang sangat curam. Beberapa kali kulihat ada kendaraan yang mogok, tidak kuat naik dan terpaksa harus menurunkan muatan atau penumpang.

Dikala aku menuruni tanjakan, perhatianku beralih kepada seorang lelaki tua berbaju lusuh dan menggakan topi bundar, usianya mungkin sekitar 50-60 tahun yang sedang berjalan dengan memanggul karung yang berisi bantal. Mungkin dia adalah seorang pedagang keliling bantal yang suka berkeliling ke kampung-kampung. Aku pun berhenti dan mematikan mesin sepeda motorku ambil menatap lelaki tua itu. Dia terlihat sangat kepayahan berjalan menanjak sambil memanggul bantal. Sesekali dia berhenti, nafasnya tersengal-sengal sambil menyusut keringat di keningnya.

Dengan tubuh bergetar dia terlihat memaksakan diri berjalan sampai dia pun berpapasan dengaku. Walau telah melewatiku, mataku tetap dengan seksama melihatnya. Aku pun berbalik melihat dia dari belakang. Batinku bergejolak. Di satu sisi aku harus pulang dan waktu sudah sore, di satu sisi aku tidak tega melihat lelaki tua itu berjalan sempoyongan.

Akhirnya, sambil mengendarai sepeda motor, aku memutuskan untuk menyusulnya ke atas. Lalu aku pun berhenti di depannya. Aku memarkirkan motor dan menghampirinya. Lelaki tua itu tampak kaget ketika aku menghampirinya. Lalu dia pun berhenti. Aku bertanya padanya "Pak, bade kamana?(Pak, mau kemana)" Dia menjawab  dengan nafas masih tersengal-sengal. "mau kesana." Sambil mengarahkan jarinya ke atas menuju jalan Kerkoff.

"Kaki saya sakit", katanya. Sambil mengangkat celana sebelah kanan yang kumal, dan dengan jelas terlihat kakinya bengkak, seperti ada borok, dan penuh dikotori debu jalanan. Dalam hati aku bertanya, "berapa kilometer jarak yang dia tempuh dengan berjalan menawarkan barang dagangannya, sampai kakinya bengkak begitu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline