Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Jadikan Inderamu sebagai Antena Idemu saat Menulis

Diperbarui: 24 Desember 2017   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: muda.kompas.id

Oleh:

IDRIS APANDI

(Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat/KPLJ)

 Bagi peminatnya, menulis merupakan aktivitas yang sangat menantang sekaligus menyenangkan. Dia asik berjam-jam duduk di depan laptop atau gawainya untuk menuliskan idenya. Saking asiknya, kadang dia lupa dengan dirinya sendiri. Kopi atau cemilan yang dibuatnya keburu dingin. Ada yang menulis dalam kesunyian, tapi ada juga yang menulis ditemani alunan musik favoritnya.

Bagi Anda yang yang ingin memasuki dunia menulis, maka silakan asah kepekaan anda. Jadikan indera-indera tubuh anda sebagai "antena" ide anda. Manusia memiliki beberapa indera, seperti mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah. Ketika melihat, mendengar, membau, dan meraba sesuatu, seseorang yang memiliki kepekaan yang tinggi akan menulisnya.

Setiap waktu, banyak peristiwa yang dialami oleh indera manusia. Hanya masalahnya, tidak setiap manusia memiliki kepekaan untuk menuliskannya. Hanya sekedar mengalaminya saja, dan setelah itu hilang dari ingatannya. Baginya tidak ada hal yang istimewa atau menarik untuk dituliskan.

Suatu hari, saya berkesempatan melaksanakan salat Jumat di sebuah masjid di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Jelang datangnya salat Jumat, jamaah berdatangan. Mereka ada yang langsung menuju ke dalam masjid dan ada yang menuju ke toilet atau tempat wudhu untuk mengambil wudhu. Sekelompok anak menawarkan koran untuk alas salat Jumat, sedangkan petugas penitipan sandal sibuk menerima, menyimpan, dan merapikan sandal.

Waktu salat Jumat pun tiba. Azan berkumandang. Setelah itu, khatib naik mimbar. Jamaah ada memperhatikan khutbah, dan ada pula yang tampak terkantuk-kantuk. Saya pun mengantuk, tapi saya berusaha menyimak khutbah yang disampaikan oleh khatib. Sang khatib menyampaikan tentang cara meneladani Nabi Muhammad Saw. Saya pun terinsirasi oleh isi khutbah tersebut, lalu setelah salat Jumat, saya tulis jadi sebuah puisi yang berjudul MENELADANI NABI MUHAMMAD SAW. Puisi tersebut saya jadikan kenang-kenangan bagi saya yang pernah mengunjungi masjid tersebut.

Setelah salat Jumat, saya pun memperhatikan jamaah yang sibuk makan siang dan belanja. Masjid selain dijadikan tempat ibadah juga sebagai lahan bagi pedagang untuk mencari nafkah dan bagi jamaah untuk mencari kebutuhannya. Hampir di setiap masjid-masjid besar dan banyak didatangi jamaah, maka pedagang pun ikut-ikutan datang. Ibaratnya ada gula dan ada semut. Beragam dagangan disediakan. 

Mulai dari makanan, minuman, pakaian, Alquran, buku-buku agama, obat-obatan, perkakas, pulsa HP, dan sebagainya. Mereka adalah pedagang musiman. Hanya datang di hari Jumat, dan setelah itu biasanya mangkal lagi di tempat lain.

Jamaah yang sedang makan siang, tampak begitu lahap memakan makanannya. Pada pedagang makanan berderet. Mulai dari pedagang bakso, mie ayam, batagor, gado-gado, hingga gorengan. Rata-rata lapak-lapak mereka dipenuhi pembeli. Begitu pun para pedagang yang lainnya dikerubuti oleh pembeli. Suasana begitu hiruk pikuk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline