Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

E-Rapor dan Kejujuran Akademik Guru

Diperbarui: 12 Desember 2017   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru bersalaman dengan murid baru kelas I saat hari pertama masuk sekolah, di SD Negeri Palmerah 07 Pagi, Palmerah Utara, Jakarta, Senin (18/7/2016). Sebanyak 65 murid baru di SDN Palmerah 07 Pagi nampak diantar oleh orangtua pada hari pertama tahun ajaran baru 2016/2017. (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Minggu-minggu ini para guru sedang sibuk memeriksa lembar jawaban Penilaian Akhir Semester (PAS) siswa. Jumlahya bisa mencapai ratusan lembar. Hal ini sangat menguras waktu dan tenaga. Walau demikian, ini adalah konsekuensi tugas seorang guru profesional. Guru bertugas merencanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, hingga mengevaluasi hasil belajar siswa, serta menyusun tindak lanjut pasca mengevaluasi hasil belajar siswa.

Ada guru yang LJK memeriksa dengan cara manusia, menggunakan LJK yang dibolongi dengan obat nyamuk, dan bagi guru yang melek IT di-scan menggunakan aplikasi tertentu dengan menggunaan HP androidnya sehingga prosesnya bisa lebih cepat, efektif, dan efisien.

Sampai dengan saat ini, dalam satu sekolah masih ada yang menggunakan dua kurikulum, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 (K-13). Pemeriksaan LJK dan pengolahan nilai yang menggunakan KTSP sebagian besar ada yang masih menggunakan cara manual, sedangkan yang telah menggunakan K-13 menggunakan aplikasi e-rapor.

Saya beberapa hari ini memantau melalui media sosial, khususnya FB guru-guru yang membuat status sedang memeriksa LJK dan mengolah nilai menggunakan aplikasi e-rapor. Bahkan sampai ada yang menulis status apakah guru-guru masih ingat mandi saking repotnya mengurusi e-rapor?

Lalu saya pun iseng menulis status apakah e-rapor memudahkan atau meriweuhkan (merepotkan) guru? Beragam komentar pun muncul, tetapi pada umumnya merasa direpotkan dengan aplikasi tersebut karena begitu detil dan banyak kolom yang harus diisi. Sosialiasi yang sangat mendadak, tidak dilatih terlebih dulu, membuat banyak guru yang merasa kesulitan, belum benar-benar memahami cara mengoprasikan aplikasi tersebut. Masih ditemukan link-link yang error, sehingga otomatis nilai tidak dapat diolah dengan baik. Guru yang gaptek IT, terpaksa meminta bantuan operator untuk menginput nilai. Belum lagi urusan sinyal internet yang di daerah tertentu jaringannya lemot.

Walau demikian ada juga guru yang menyikapi dengan bijak bahwa sebagai hal baru, hal ini memerlukan proses. Guru-guru harus belajar IT agar dapat menggunakan aplikasi ini dengan baik, karena pada dasarnya dibuatnya e-rapor adalah untuk memudahkan guru mengolah dan menyusun laporan hasil belajar peseta didik.

Di balik segala kerepotan yang saat ini dialami banyak guru dalam menggunakan aplikasi e-rapor, saya melihat bahwa hal ini adalah ujian terhadap kejujuran akademik guru dalam memberikan nilai kepada guru. Berdasarkan beberapa komentar yang muncul pada status saya berkaitan dengan e-rapor tersebut, ada yang berkomentar bahwa mereka tersandera dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang tidak boleh kecil.

Guru atau sekolah memang diberikan kebebasan menetapkan KKM. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menetapkan KKM, yaitu intake siswa, kompleksitas materi, dan daya dukung. Walau demikian, secara psikologis, guru tetap tidak bebas menentukan KKM karena diminta menetapkan KKM yang cukup tinggi, misalnya 75, walau sebenarnya berat untuk tercapai.

Ada dilema yang dihadapi oleh guru ketika nilai siswa tidak mencapai KKM walau guru telah melaksanakan remedial. Bahkan di sekolah-sekolah tertentu, guru kesulitan melakukan remedial terhadap siswa karena siswanya tidak sekolah pasca PAS. Walau siswa sudah diberi tahu, siswa tetap tetap datang, sementara waktu pengerjaan e-rapor semakin mepet. Seorang guru mengaku justru guru-lah yang galau ketika nilai siswa rendah atau belum mencapai KKM, sedangkan siswanya santai-santai saja. Guru harus mengejar-ngejar siswa dan memintanya remedial.

E-rapor diinstal, lalu diisi secara offline. Setelah nilai-siswa diisi dengan lengkap, di online-kan dan diunggah ke DAPODIK. Ketika nilai sudah diunggah ke DAPODIK, maka nilai tersebut tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, guru mengalami konflik batin antara mengisi nilai sebagaimana adanya atau meng-upgrade nilai-nilai siswa yang kurang demi nama baik sekolah.

Pada akhirnya guru terpaksa menyerah. Guru memberikan nilai kadeudeuh alias nilai kasih sayang kepada siswanya yang belum mencapai KKM supaya ke depannya tidak repot. Penilaian otentik yang selama ini didengung-dengungkan pada saat diklat Kurikulum 2013 sulit untuk dilaksanakan akibat hal yang bersifat non teknis tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline