Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Menikmati "Orgasme Literasi" Melalui Menulis

Diperbarui: 1 Desember 2017   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan / LPMP Jawa Barat)

Bagi seorang penulis profesional, menulis merupakan aktivitas yang menjadi bagian dari profesinya. Menulis menjadi lahan nafkah atau mencari penghasilan. Tetapi ada juga yang menjadikan menulis sebagai hobi, hiburan, atau akivitas sampingan tanpa menghilangkan pekerjaan utamanya. Tulisannya hanya sekedar menuliskan pengalaman hidup atau dunia kerjanya.

Apapun kategorinya, apakah penulis profesional atau pun penulis amatir, dua-duanya pasti memiliki tujuan ketika menulis dan mendapatkan kepuasan tersendiri, yang kalau isitilah saya (maaf) "orgasme literasi." Hal tersebut hanya dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar meminati dan menikmati prosesnya. Ketika satu tulisan selesai, maka dia akan menulis tulisan-tulisan berikutnya. Mengapa demikian? Karena dia telah kecanduan menulis. Makanya dia ingin dan ingin lagi melakukannya.

Orang yang menulis untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah atau untuk syarat kenaikan pangkat, dia akan merasa terbebebani, tersiksa, merasa tidak nyaman, dan tertekan. Ketika tulisannya selesai, maka dia merasa "merdeka" dari "penjajahan" tugas akhir yang harus dilaluinya. Andai bisa berteriak, tentu dia akan berteriak mengekspresikan kebahagiaannya. Bahkan dia kadang malas untuk membuka kembali tugas akhir atau tulisan yang pernah dibuatnya. Dengan kata lain, walaupun dia mampu menyelesaikan tulisannya, belum tentu dia mengalami "orgasme literasi."

Orang yang mengalami "orgasme literasi", pastinya dia menulis disertai hati. Niat ingin berbagi ide atau gagasan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Ketika terbersit ide, maka dia segera mengeksekusinya menjadi sebuah tulisan. Jika waktunya  kurang memungkinkan, minimal mencatat garis-garis besar gambaran tulisan yang akan ditulisnya di lain waktu.

 Menulis adalah sebuah proses kreatif. Tiap orang memiliki karakter dan gaya masing-masing. Gaya atau karakter terebut didapatkannya setelah sekian lama dia berproses menghasilkan karya demi karya. Ketika dia telah memiliki gaya atau karakter tersebut, maka dia akan merasa nyaman, dan akan terus mempertahankannya.

Penulis biasanya berkumpul dengan sesama penulis. Mereka akan banyak berdiskusi atau menceritakan aktivitas yang dilakukannya. Mereka lalu membentuk komunitas sebagai sarana untuk silaturahim, berbagi informasi, atau ide. Rasa "senasib" dan memiliki visi yang sama membuat mereka nyaman berada dalam komunitas.

Pasca diluncurkannya Gerakan Literasi Sekolah (GLS), hingar bingar kegiatan menulis, khususnya di kalangan guru begitu tampak. Berbagai pelatihan menulis dilakukan, baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun organisasi penulis. Hal ini merupakan tren positif, dan semoga tidak layu seiring waktu.

Untuk mencapai "orgasme literasi", maka seorang penulis harus mampu mengatur tempo menulis, menyajikan sebuah tulisan yang baik, dan enak untuk dibaca. Bukan hanya asal ditulis, dan tulisannya kering akan makna. Oleh karena itu, dia harus banyak membaca agar idenya terus mengalir dan tulisannya sarat akan makna. Jangan sampai dia mengalami "ejakulasi dini literasi" dimana dia baru saja menulis, sudah berhenti karena kekurangan ide, mandeg, dan kurang mampu mengembangkan tulisannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline