Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Santri, Literasi, dan Pesan Perdamaian

Diperbarui: 23 Oktober 2017   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pentas Teater Kalung Permata Barzanji oleh para santri dan santriwati sembilan Pondok Pesnatren, Babakan-Ciwaringin, Cirebon di Taman Budaya Tegal, Sabtu, 1 Februari 2004.(Kompas.com/Jodhi Yudono)

Santri dan literasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Karena santri merupakan orang yang sedang belajar, khususnya belajar ilmu-ilmu agama di sebuah pesantren. Proses belajar pastinya dilalui melalui membaca, berdiskusi, mengkaji, menelaah, menganalisis, dan sebagainya.

Dulu, para santri belajar hanya terbatas pada kitab kuning yang diajarkan oleh ustdaz atau kiai, tetapi saat ini santri seperti halnya memiliki kesempatan dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Kitab-kitab kuning selain dalam bentuk hard copy, juga tersedia dalam bentuk soft copy. Pembelajaran di samping dilakukan secara konvesional, juga dilakukan secara digital. Oleh karena itu, santri zaman sekarang harus juga melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Ilmu-ilmu agama di samping didapatkan dari kitab-kitab kuning, juga didapatkan dari "kitab-kitab" putih alias buku karena saat ini sudah banyak kitab atau buku karangan ulama-ulama Timur Tengah yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, para santri bisa belajar dari internet.

Saat ini, di internet banyak situs-situs yang berkonten agama Islam. Meski demikian, harus dipilah dan dipilih isinya, serta perlu mendapatkan bimbingan dari ustadznya di pesantren. Soalnya, ada situs-situs Islam yang diduga menyebarkan paham radikalisme, terorisme, dan ujaran kebencian seperti halnya situs ISIS dan simpatisannya.

Santri bukan hanya belajar ilmu dari sumber-sumber tertulis, tetapi juga belajar dari lingkungan. Santri tidak bersikap ekslusif, tetapi mampu berbaur baik dengan dengan teman-temannya maupun dengan warga sekitar. Santri bukan hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga perlu memiliki kecakapan hidup (life skill) seperti bertani, membuat kerajinan, dan sebagainya sebagai bekal mereka untuk berwirausaha.

Santri-santri literat akan menjadi pembaharu (mujaddid), pencerah, dan agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, para santri bisa menyebarkan ilmu dan kebaikan bagi sesama. Dan tentunya akan jadi ladang amal baginya. Perkembangan globalisasi pun perlu menjadi perhatian para santri. Oleh karena itu, di pesantren-pesantren modern, santri bukan hanya belajar Bahasa Arab, tetapi juga Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.

Sosok santri literat juga mampu memiliki daya kritis terhadap berbagai permasalahan sosial dan serta menjadi bagian dari solusinya. Santri bukan hanya bisa membaca dan menelaah kitab-kitab karya para ulama besar, tetapi juga mampu menuliskan ide-idenya untuk dibaca oleh masyarakat.

Kalau saya bermain ke toko-toko buku, pada konter buku-buku agama, banyak sekali buku-buku dari Timur Tengah dan Mesir yang diterjemahkan oleh sarjana lulusan dari Timur Tengah. Itu pada dasarnya baik, untuk mempermudah masyarakat membaca buku-buku berbahasa Arab. Walau demikian, pengalaman saya membaca buku-buku terjemahan kadang bahasanya berbelit-belit. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika santri-santri atau kaum cendekiawan menulis buku-buku agama dengan bahasanya sendiri agar mudah dipahami oleh pembaca.

Dalam konteks perdamaian, dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, santri dapat mengampanyekan pentingnya perdamaian, baik melalui lisan maupun melalui tulisan. Saat ini stigma yang dihadapi oleh umat Islam adalah identik dengan terorisme, radikalisme, dan intoleran. Melalui ceramah dan tulisan-tulisannya, santri menyampaikan bahwa Islam adalah agama damai, agama rahmatan lil 'alamiin. Adapun jika kelompok-kelompok yang intoleran. Pesan-pesan perdamaian pun dapat disampaikan melalui cara-cara yang lebih kreatif seperti gambar, video, bahkan melalui seni. Pesan-pesan perdamaian pun dapat disampaikan melalui cara-cara yang lebih kreatif seperti gambar, video, bahkan melalui seni.

Dalam konteks sempit santri diartikan sebagai orang yang mondok di pesantren, tetapi dalam konteks yang lebih luas, kalangan mahasiswa, intelektual kampus, akademisi, atau masyarakat umum yang memang memiliki minat dan pemahaman agama yang baik dapat disebut santri.

Santri saat ini tidak selalu identik dengan kaum sarungan, bukan sebagai label atau atribut, tetapi lebih kepada jiwa yang nyantri, yaitu tahu, paham, dan melaksanakan ajaran agama Islam yang ditandai dengan ketataan melaksanakan ibadah dan memiliki budi pekerti yang luhurSantri bisa muncul di kantor-kantor pemerintah, bank, perusahaan, gedung aparat pemerintahan, pasar, dan tempat-tempat lainnya. Santri, literasi, dan perdamaian adalah hal yang sangat baik sebagai bentuk sosok ideal santri, dan salah satu bentuk kontribusi nyata yang bisa dilakukannya. Wallaahu a'lam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline