Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Santri Masagi, Santri Mandiri, Santri Hebat

Diperbarui: 21 Oktober 2017   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Hal ini merupakan realisasi dari janji presiden Joko Widodo kepada umat Islam utamanya kepada kalangan Nahdatul Ulama (NU) yang secara resmi ditetapkan sejak 22 Oktober 2015. Santri setidaknya memiliki kebanggaan dan eksistensinya diakui sebagai salah satu elemen pembangun negeri. Bukan hanya hari guru atau hari buruh yang diperingati, santri juga memiliki momentum untuk memperlihatkan eksistensinya.

Peringatan HSN diisi dengan berbagai acara, mulai dari tawasul, tabligh akbar, tausyiah, festival, lomba-lomba, dan sebagainya. Intinya agar peringatan HSN disamping semarak juga memberikan makna bagi khususnya bagi kalangan santri dan umumnya bagi kalangan masyarakat.

Santri secara sempit diartikan sebagai seseorang yang belajar di pesantren, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pengertian tersebut mengalami perluasan. Nasaruddin Umar dalam bukunya yang berjudul "Rethinking Pesantren" (2014 : 6) berpendapat bahwa "santri tidak hanya terbatas pada orang yang sedang dan pernah pendidikan agama di pesantren di bawah asuhan para kiai-ulama, tetapi juga kepada mereka yang belaar dan memahami ilmu-ilmu keagamaan baik secara autodidak maupun secara institusi formal yang kemudian diwujudkan aktivitas kesehariannya."  

Berdasarkan kepada pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa santri bukan hanya sebagai status pelajar di sebuah pesantren, tetapi juga bisa belajar agama secara autodidak, atau berjiwa santri, yaitu pribadi yang paham dan melaksanakan ilmu agama dalam kehidupannya.

Santri belajar beragam ilmu agama agar dia benar-benar menjadi sosok yang tahu juga paham ilmu agama, karena selepas dari pesantren, ilmu tersebut akan disebarkan kepada masyarakat. Iqra,membaca  atau mempelajari banyak kitab dan sumber belajar lainnya. Itulah aktivitas yang harus banyak dilakukan oleh santri agar menjadi santri yang mumpuni atau kalau istilah sundanya masagi.

Masagi adalah filosofi sunda yang singkat-padat tetapi memiliki makna yang mendalam. "Jelema masagi"(Natawisastra,1979:14, Hidayat, 2005:219) artinya orang yang memiliki banyak kemampuan dan tidak ada kekurangan. Masagi berasal dari kata pasagi (persegi) yang artinya menyerupai (bentuk) persegi.

Masagi kalau digambarkan dalam bentuk fisik mungkin menyerupai bentuk segi empat berbentuk kubus yang sama tiap sisinya, karena tiap sisinya padu tak ada yang kepanjangan atau kependekan maka bentuknya menjadi masagi. Dalam filosofi kehidupan yang sebenarnya orang yang berusaha masagi adalah seorang yang telah bisa menyatu padukan semua pengalaman serta ilmu pengetahuan yang pasti memiliki sisi yang berbeda beda yang telah dialaminya menjadi sebuah kesatupaduan-tidak lagi berpandangan terpecah-terkotak kotak-parsialistik.

Orang yang masagi selalu berupaya berfikir konstruktif dan berpandangan menyeluruh, dan sebaliknya seorang yang tidak berupaya untuk masagi adalah seseorang yang cara berfikir dan pandangnya masih terkotak kotak-parsialistik, masih belum bisa memadukan ilmu serta pengalamannya yang berbeda beda menjadi sebuah kesatupaduan, juga seorang yang cara pandangnya ganjil-monolistik, misalnya karena hanya fokus serta orientasi kepada dunia yang nampak mata-terbukti secara empirik dan melalui pengalaman dunia indera, sedangkan fakta menunjukkan adanya hal-hal yang tak nampak mata yang tak tertangkap oleh pengalaman dunia inderawi (Ujang ti Bandung, 02/04/2014).

Agar menjadi santri yang masagi, maka selain ilmu agama, maka santri pun dibekali dengan ilmu-ilmu "keduniaan", seperti bertani, membuat kerajinan, memperkenalkannya pada IPTEK, agar memiliki kecakapan hidup (life skill)dan jiwa wirausaha.

Santri harus memiliki ilmu yang masagi karena ketika terjun ke masyarakat, dia akan menjadi sumber ilmu, sumber informasi, dan jadi contoh teladan. Harus mampu menjawab ketika ada jamaah yang bertanya. Kadang suka dimintai pertolongan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari perkawinan, kelahiran, kematian, urusan transaksi jual-beli, dan sebagainya.

Selain belajar ilmu agama atau ilmu lainnya yang bermanfaat di pesantren, seorang santri juga belajar untuk hidup mandiri. Harus belajar mengelola bekal yang kadang terbatas dan mengelola waktu belajar. Dulu santri harus mencuci sendiri, kalau mau makan harus masak sendiri, tapi sekarang ada pesantren, utamanya pesantren modern yang sudah menyediakan jasa catering dan laundry.Hal ini sebenarnya mengurangi kemandirian santri, tetapi karena pihak orang tua pun menyetujui dengan tujuan supaya anaknya lebih fokus belajar, maka fasilitas-fasilitas tersebut disediakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline