Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Apa Salah Kalau Kami Anak Cucu PKI?

Diperbarui: 24 September 2017   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaan tersebut mungkin akan muncul dari anak atau cucu tokoh PKI atau yang disangka sebagai simpatisan PKI, seiring tingginya resistensinya mayoritas bangsa Indonesia terhadap PKI, karena PKI pernah melakukan pemberontakan berdarah dengan sangat kejam di Indonesia pada tahun 1948 dan 1965.

Memang sangat berat beban psikologis yang diderita oleh anak dan cucu PKI, karena mereka selalu dikaitkan dengan dosa-dosa masa lalu ayah atau ibunya, kakek atau neneknya. Mereka seorang membawa dosa turunan dan terdampak dendam turunan.

Selama orde baru, mereka tertekan, dicurigai sebagai penerus paham leluhurnya. Gerak-geriknya selalu dipantau. Bahkan Ilham Aidit, anak kandung tokoh PKI, DN Aidit berani menuliskan nama belakangnya setelah 44 tahun, tepatnya pada tahun 2003, dimana reformasi sudah bergulir sejak tahun 1998.

Di masa orde baru Ilham Aidit tidak berani menuliskan nama belakangnya karena merasa terintimidasi oleh situasi politik pada saat itu. Zaman orde baru, jangan harap keturunan PKI bisa jadi pegawa negeri, bisa jadi anggota TNI/Polri. Pasti akan dilakukan screening terhadap latar belakang dan masa lalunya.

Mereka, anak dan cucu PKI tidak pernah meminta keluar dari rahim orang tua anggota PKI. Dan setelah mereka lahir, mereka pun tidak dapat protes kepada orang tuanya. Apapun dan bagaimanapun latar belakang orang tuanya, sebagai anak, dia wajib taat dan berbakti kepada orang tuanya. Dan adalah hal yang wajar jika seorang anak PKI bangga kepada ayah atau ibu biologisnya yang telah merawat dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang.

Beberapa tahun lalu ada seorang keturunan PKI yang menulis buku "Aku Bangga jadi Anak PKI". Saya sendiri belum pernah membaca bukunya, sehingga belum dapat menyimpulkan apakah sang penulis merasa bangga dalam konteks biologis atau dalam konteks ideologis. Kalau bangga dalam konteks biologis lumrah, tapi kalau bangga dalam konteks ideologis, hal ini yang perlu diwaspadai.

Adalah tidak adil ketika anak atau cucu dikaitkan dengan dosa-dosa leluhurnya. Tidak ada dosa turunan. Setiap anak yang lahir ke dunia ini lahirkan dalam keadaan suci. Mereka mau dibawa kemana dan mau dijadikan apa tergantung kepada orang tuanya. Begitupun dengan anak dan cucu PKI atau anak penjahat sekalipun, karena mereka tiak tahu menahu terhadap dosa-dosa orang tuanya.

Anak-anak tokoh-tokoh PKI dan anak dari jenderal yang dibunuh pada saat pemberontakan G-30 S/PKI pun pada dasarnya sudah ingin melakukan rekonsiliasi, ingin menutup trauma dan luka lama yang sampai dengan saat ini masih menganga. Salah satunya seperti yang sering disampaikan oleh Ilham Aidit, anak DN Aidit dan Letjend. (Purn) Agus Widjojo, anak Jenderal Soetoyo yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Lemhanas.

Mereka berdua sudah sering dimintai pendapatnya dan sering bertemu pada berbagai forum yang membahas tragedi tahun 1965. Dan yang terakhir adalah mereka bertemu pada saat acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One tanggal 19 September  2017. Mereka berdua sama-sama setuju terhadap pentingya rekonsiliasi. Tetapi Agus Widjojo menyampaikan bahwa bangsa ini belum siap melakukan rekonsiliasi. Trauma masa lalu masih begitu membekas dalam benak bangsa Indonesia. Rekonsiliasi bisa dilakukan jika kedua belah pihak sudah siap menutup buku, mengubur dendam, menghapus trauma, dan siap membuka lembaran baru kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau demikian, sejarah tetap harus dijadikan pelajaran oleh semuanya.

Ketika anak dan cucu PKI ingin hidup berdampingan dengan semua bangsa Indonesia, maka ideologi komunis sebagaimana yang dianut oleh leluhurnya jangan dianut lagi, jangan dilanjutkan, apalagi bercita-cita ingin dibangkitkan kembali. Indonesia adalah negara yang memiliki ideologi Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan komunis, sebagaimana yang ditulis oleh Karl Marx, Bapak komunisme dunia, dalam bukunya Das Capital Bapak menyebutkan bahwa agama adalah candu, anti Tuhan. Dan DN Aidit sendiri pernah menyampaikan bahwa revolusi mental akan berhasil kalau masyarakat dijauhkan dari agama.

Pancasila dan komunis, ibarat air dan minyak, tidak dapat disatukan. Dan inilah yang menyebabkan kejatuhan Soekarno masa akhir orde lama karena konsep nasionalis, agama, dan komunis (NASAKOM) yang dibuatnya gagal. Oleh karena itu, kepada para anak cucu PKI, mari bersama hidup dalam pangkuan ibu pertiwi dengan menganut ideologi Pancasila. Kubur ide atau gagasan ingin membangkitkan kembali ideologi komunis, karena sebagaimana janji presiden Joko Widodo, kalau komunisme bangkit, maka akan "digebuk."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline