Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Film G-30 S/PKI dan Tontonan Ramah Anak

Diperbarui: 24 September 2017   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perintah panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo agar anak buahnya menonton film G-30 S/PKI menuai pro dan kontra. Pihak yang pro berpandangan bahwa pemutaran film tersebut penting agar generasi muda tahu terhadap sejarah bangsa yang memasuki masa-masa kelam saat pemberontakan PKI sekaligus juga waspada terhadap kebangkitan bahaya laten komunis.

Sinyalemen tersebut dapat terlihat dari munculnya simbol-simbol berlogo palu arit di beberapa daerah, pembuatan film dan tulisan yang berbau komunis, serta berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mantan tapol PKI, keluarga PKI, dan simpatisan PKI yang dinilai berbahaya dan sangat meresahkan.

Para mantan tapol PKI yang memosisikan dirinya sebagai korban kekerasa negara tahun 1965 menuntut kepada negara untuk meminta maaf, merahibilitasi namanya, dan mendapatkan kompensasi dari negara. Bahkan merekapun mengajukan kepada pengadilan HAM internasional di Den Haag Belanda dalam rangka mencari keadilan.

TNI sebagai garda pertahanan negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa, menjaga agar persatuan dan kesatuan bangsa tidak pecah, dan mengantisipasi munculnya ancaman dan gangguan keamanan yang merongrong kedaulatan NKRI.

Selain yang pro ada juga yang kontra, salah satunya adalah Komisi Perlindungan Anak Ndonesia (KPAI). KPAI menilai karena film tersebut tidak layak ditonton anak-anak, karena di dalamnya terdapat adegan-adegan kekerasan seperti penembakan, penganiayaan, ucapan-ucapan kasar, dan sebagainya. Walau secara jelas sebenarnya film tersebut lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF).

Zaman orde baru memang belum ada undang-undang perlindungan anak. Jadi film tesebut diputar begitu saja, tidak ada yang mengkritisi tidak layak ditonton oleh anak-anak, tetapi saat ini, pasca reformasi, dimana arus demokrasi dan kebebasan berpendapat dibuka, perlindungan anak dikampanyekan, bahkan saat ini telah ada undang-undang perlindungan anak, maka kampanye perlindungan anak pun dilakukan oleh para aktivis perlindungan anak. Akibatnya, dunia pendidikan justru kadang terpasung oleh undang-undang perlindungan anak, karena khawatir tindakan guru diadukan sebagai pelanggaran hak anak.

Kembali kepada persoalan film G-30 S/PKI yang dinilai tidak layak ditonton anak-anak, saya berpendapat bahwa film tersebut tidak salah ditonton, tetapi atas bimbingan orang tua, agar anak-anak mendapatkan informasi yang proporsional, gambar yang dinilai tidak layak ditonton diblurkan, dan ucapan-ucapan yang tidak layak disensor. Oleh karena itu, bukan filmnya yang tidak boleh diputar, tetapi harus atas bimbingan dari orang tua, karena generasi muda bangsa ini harus tahu sejarah bangsanya.

Paham komunis yang atheis jangan sampai merasuk kepada generasi muda bangsa ini, karena walau organisasinya sudah dibubarkan, tetapi pahamnya tidak akan hilang. Orang-orang yang memiliki paham komunis tentunya berharap ideologi mampu bangkit kembali dan berjaya, walau secara nyata bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Kalau bicara tontonan yang layak anak, maka sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari pun anak-anak banya disajikan tontotan sinetron-sinetron yang kurang mendidik, seperti adanya adegan kekerasan, percintaan remaja yang kebablasan, gaya hidup mewah, perundungan, kalimat-kalimat yang melecehkan, dan sebagainya. Hal ini yang sebenarnya harus banyak dikritisi oleh KPAI.

Tayangan TV yang kurang mendidik telah banyak berdampak negatif kepada anak-anak dan remaja. Sudah banyak yang jadi korban. Media pun seharusnya memiliki tanggung jawab moral menyajikan tayangan-tayangan yang mendidik, membangun moral dan mental generasi muda Indonesia untuk berpartisipasi membangun bangsa, bukannya menjadikan mereka sebagai generasi millennial yang alay.

Selain tayangan TV yang kurang mendidik, generasi muda Indonesia pun dihadapkan pada ancaman bahaya narkoba. Sudah banyak yang menjadi korban. Bahkan beberapa waktu yang lalu di Kendari, sudah ada remaja korban narkoba jenis PCC yang dampaknya begitu hebat, membuat mereka tidak sadarkan diri bahkan meninggal.  Belum lagi dampak dari dampak dari pornografi yang disebar melalui internet yang juga berdampak buruk terhadap anak-anak dan remaja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline