Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Santri dan Literasi

Diperbarui: 4 Juli 2017   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SANTRI DAN LITERASI

Oleh:

IDRIS APANDI

(Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Santri adalah istilah lain dari siswa atau pelajar. Hanya bedanya lebih fokus belajar ilmu agama. Di sekolah-sekolah berasrama, ada siswa yang merangkap menjadi santri. Dari pagi sampai dengan sore dia belajar di sekolah dibawah bimbingan para guru, dan dari Maghrib sampai dengan Isya dia belajar ilmu agama dibawah bimbingan para ustadz.

Sepanjang yang saya ketahui, dikenal dua jenis santri. Ada santri kalong dan ada santri mukim. Santri kalong adalah santri yang belajar di pesantren, tapi tidak menginap di pondok. Biasanya rumahnya memang dekat dengan pesantren tempatnya mengaji. Sedangkan santri mukim adalah santri yang belajar dan tinggal atau bermukim di pondok. Dalam perkembangannya, di era digital ini, santi bisa belajar melalui pesantren online,dan"berguru" kepada google. Walau demikian, meski pada dasarnya mencari ilmu bisa dimana saja dan melalui media apa saja, sangat disarankan berguru secara face  to face kepada ulama agar jelas sumber keilmuannya.

Dalam kaitannya dengan gerakan literasi, santri sebenarnya sudah akrab dengan hal tersebut, utamanya dalam kaitannya dengan mempelajari kitab-kitab kuning karangan para syaikh dan para ulama. Beragam kitab dipelajari, mulai ilmu tauhid, tasawuf, fiqih, ilmu nahwu-sharaf, ilmu aturan membaca Alquran, dan sebagainya.

Selain mempelajari kitab-kitab kuning, santri pun biasanya belajar seni seperti nasyid, marawis, hadrah dengan melantunkan salawat kepada Nabi Muhammad Saw., belajar berpidato, dan belajar seni bela diri. Di pesantren yang memiliki karakteristik atau program khusus, santri selain selain diberikan ilmu-ilmu agama, juga diberikan keterampilan seperti bertani, membuat kerajinan, menyablon, dan berwirausaha, agar mereka bukan hanya cakap secara ilmu agar, tetapi memiliki kompetensi untuk berkiprah dalam masyarakat.

Santri pun bukan hanya sekedar label santri sebagai orang yang belajar di pesantren dengan atribut fisik seperti sarung, baju koko, gamis, sorban, atau kopiah, tetapi juga berjiwa santri. Jiwa santri bisa muncul di kantor-kantor, pasar, perusahaan, pasar-pasar, atau tempat-tempat lainya. Fisiknya bisa saja tidak menggunakan pakaian khas santri pada umumnya, tetapi jiwa santri tercermin pada akhlaknya yang mulia, pemahaman ilmu agama yang dalam, dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang santri menuntut ilmu agama disamping untuk dirinya sendiri, juga akan dimanfaatkan di lingkungan masyarakat. Ketika seorang santri "lulus" dari pesantren, pada umumnya kembali ke kampung halaman atau mengabdi di tempat lain dengan membuka majelis taklim atau pesantren. Selain menjadi sumber ilmu, tempat bertanya, dia juga menjadi tokoh penting di masyarakat. Dari seorang santri, ketika sudah menjadi pemuka agama, dia akan berubah menjadi ustadz. Oleh karena itu, dia harus mumpuni atau kompeten pada bidangnya.

Untuk menjadi manusia yang kompeten, tentunya seorang santri harus banyak belajar ilmu agama secara luas dan mendalam ditambah ilmu-ilmu lain yang lainnya. Mentalnya sebagai pembelajar akan menjadikannya sebagai manusia yang literat. Hal yang menjadi dasarnya adalah seorang santri harus banyak Iqra alias membaca. Selanjutnya dia terus memperdalam ilmu, berguru kepada kyai, ajengan, ulama yang ilmunya lebih tinggi darinya. Bukankah manusia memang pada dasarnya harus menjadi pembelajar sepanjang hayat?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline