Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Menulis Buku, Berlomba-Lomba dalam Kebaikan

Diperbarui: 17 April 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENULIS BUKU, BERLOMBA-LOMBA DALAM KEBAIKAN

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Menulis buku adalah cita-cita sekaligus kebanggaan bagi yang berminat dalam dunia kepenulisan. Menulis selama ini diidentikkan dengan akivitas kalangan akademisi dan peneliti, padahal pandangan tersebut kurang tepat. Menulis dapat dilakukan saja oleh orang yang berlatar belakang pekerjaan atau profesi apapun.

Di negara maju seperti Amerika, seorang petani gandum dapat menulis buku yang yang menjelaskan teknik bertani gandum yang baik. Seorang peternak sapi menulis buku tentang cara beternak sapi yang baik. Seorang mantan narapidana menulis buku yang menceritakan tentang masa-masa suramnya di dalam tahanan, seorang mantan pecandu narkoba menulis buku tentang bagaimana perjuangannya keluar dari jerat narkoba, seorang artis atau olahragawan menulis tentang perjuangannya meraih kesuksesan, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya bisa menjadi informasi, motivasi sekaligus inspirasi pembaca bukunya.

Di Indonesia, seiring dengan digulirkannya Gerakan Literasi oleh pemerintah khususnya dilingkungan dunia pendidikan cukup meningkatkan gairah guru untuk menulis buku.  Selain sebagai bentuk pengembangan profesi sebagai syarat kenaikan pangkat, menulis buku juga sebagai bentuk aktualisasi dan prestasi diri seorang guru, karena saat ini belum semua guru memiliki minat dan kemampuan menulis buku.

Berdasarkan pengamatan dan penngalaman penulis ketika menjadi narasumber pelatihan menulis, peserta yang hadir pada umumnya itu-itu lagi, dan cukup sedikit pendatang baru. Mengapa demikian? Penyebabnya bisa beberapa faktor. Pertama, guru belum sadar terhadap kewajibannya untuk mengembangkan profesinya. Apalagi bagi guru-guru yang telah disertifikasi.

Kedua, merasa belum mendesak untuk kenaikan pangkat karena waktunya masih jauh. Nanti kalau sudah dekat waktunya, baru bergerak, dan bahkan kadang menggunakan jalan pintas. Pola pikir ini dipegang oleh guru-guru yang menempatkan menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) hanya untuk kepetingan kenaikan pangkat, dan setelah merasa aman tidak terpikir lagi untuk menulis KTI.

Ketiga, sibuk, sulit mengatur waktu, karena energi guru sudah banyak terkuras mengajar dari pagi sampai dengan sore hari. Waktu malam adalah waktunya istirahat dan waktunya berkumpul bersama keluarga. Kegiatan malam juga digunakan untuk menyusun persiapan mengajar esok hari. Boro-boro memikirkan atau menyempatkan diri untuk menulis.

Keempat, malas untuk melakukannya, tidak mau keluar dari zona nyaman. Hal tersebut sebenarnya manusiawi, karena pada umumnya tidak ada orang yang mau kesenangannya terganggu atau tidak mau mendapatkan pekerjaan yang akan memberatkannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline