KITA PRIBUMI, KITA INDONESIA, BUKAN TIKO
Oleh:
IDRIS APANDI
Parasaan Saya sebenarnya gamang dan emosional ketika hendak menulis tulisan ini. Takut disebut provokatif dan menyebarkan isu SARA. Tapi rasa “kepribumian” Saya yang sudah sangat tersentuh menyebabkan Saya memutuskan menulis tulisan ini sebagai bentuk respon dari seorang umat Islam yang tidak sudi melihat ulama dihina, dan sebagai anak bangsa yang tidak suka melihat adanya etnis yang arogan terhadap etnis yang lainnya.
Istilah pribumi dan non-pribumi kembali mencuat beberapa hari yang lalu, ketika seorang mahasiswa berinisial SHS yang kebetulan keturunan etnis non-pribumi (Tionghoa) menghina dengan ucapan yang sangat kasar dan rasialis terhadap Tuan Guru Bajang (TGB) atau Muhammad Zainul Majdi, seorang pribumi, salah satu putra terbaik Indonesia, ulama yang juga menjabat sebagai Gubernut Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sebagaimana yang diberitakan oleh banyak media, kasus tersebut terjadi TGB beserta istrinya mengantre di loket tiket Batik Air di bandara Changi Singapura (09/04/2017). TBG lalu keluar dengan tujan untuk menanyakan jadwal penerbangan. Ketika hendak masuk kembali ke dalam antrean, SHS menghardiknya karena TGB disangkanya menyerobot antrean. SHS mengucapkan kalimat “Dasar Indo, dasar Indonesia, Dasar pribumi tiko”. Setelah TGB melaporkan hal ini kepada polisi di Bandara Soekarno-Hatta, SHS pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dia menulis surat permohonan maaf di atas materai, dan TGB pun telah memaafkannya, tidak ingin memperpanjang kasus tersebut.
Tiko adalah kependekan dari “Tikus Kotor”. Kata yang sangat kasar dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Kalimat tersebut sangat tidak layak diucapkan kepada siapapun dan berasal dari etnis apapun. Tikus adalah makhluk yang biasa berdiam di tempat yang kotor, bau, lembab, gelap, banyak sampah, suka mencuri makanan, merusak bangunan dan peralatan, serta symbol dari koruptor. Sungguh sangat hina siapa pun yang disebut sebagai “Tiko”.
Walau pun telah dihina oleh seorang anak muda yang usia jauh di bawahnya, tapi TGB memaafkannya. Ini kemuliaan akhlak yang perlu menjadi teladan bagi semua anak bangsa. Walau demikian, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi kita semua agar menjaga emosi, tidak arogan, tidak reaktif, mengedepankan klarifikasi jika menghadapi sebuah masalah, menjaga etika, dan perlunya menghormati antarsesama manusia.
Ada pribahasa yang mengatakan bahwa “kadang sulit meminta maaf, tetapi jauh lebih sulit lagi untuk memaafkan”, “memaafkan tapi bukan berarti melupakan”. Hal ini pun berlaku bagi TGB, warga NTB, umat Islam, dan seluruh warga pribumi yang tersinggung oleh kata-kata kasar SHS.
Jika menilik KTP yang dimiliki oleh SHS, dia juga adalah seorang WNI, dia dilahirkan di Jakarta, tapi keturunan etnis Tionghoa. Di tengah masih panasnya Pilkada DKI dan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang juga memiliki etnis dan agama yang sama dengan SHS, maka hal ini semakin menyulut sentimen anti etnis Tionghoa. Di media sosial, sudah banyak berita yang beredar yang isinya mengingatkan bangkitnya etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini tentu sangat berbahaya dalam menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa.
Pada masa penjajahan Belanda, warga dibagi menjadi tiga kelas, yaitu (1) golongan kulit putih (Eropa Amerika, dan Jepang), (2) golongan timur asing (Tionghoa, Arab, dan India), dan (3) golongan bumi putera (pribumi, bangsa Indonesia, warga yang dijajah). Hukum yang berlakukan bagi ketiga golongan tersebut berbeda, dan kalangan bumi putera atau pribumi adalah kalangan yang sangat rendah dihadapan dua golongan diatasnya. Kalangan bumi putera atau pribumi dipekerjakan seperti budak.