Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Manajemen Pelatihan Menulis bagi Guru

Diperbarui: 4 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru-guru sedang mengikuti pelatihan menulis. (Foto : Dok. Pribadi).

MANAJEMEN PELATIHAN MENULIS BAGI GURU

Oleh:

IDRIS APANDI

Beberapa tahun terakhir, pasca diberlakukannya Permenegpan Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, dimana ada kewajiban bagi guru untuk menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) sebagai syarat untuk naik pangkat, pelatihan menulis guru makin marak, baik yang dilakukan oleh organisasi profesi guru, sekolah, Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Swadaya Masyaraakat (LSM), penerbit, dan sebagainya. Pemerintah pun memberikan bantuan (blockgrant) kepala Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru (MGMP) dimana diarahkan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menulis.

Masalah

Dibalik hingar bingar dan gegap gempita pelatihan menulis di kalangan guru, ada beberapa hal yang menjadi catatan Saya:

  • Nama kegiatan walau bertajuk pelatihan atau workshop,tapi kenyataannya banyak yang hanya seminar. Narasumber menjadi one man show,ceramah, komunikasi berjalan satu arah. Ketika ada beberapa pemateri, maka digabungkan dalam bentuk panel, pemaparan waktunya terbatas, dan tanpa praktek. Hanya tanya jawab singkat, yang kadang tanpa solusi yang jelas. Setelah itu bubar, tanpa tindak lanjut alias tidak berakhir menjadi sebuah produk.
  • Kegiatan dilakukan dalam waktu singkat. Misalnya dalam waktu sehari, hanya beberapa jam, jumlah peserta yang banyak, kondisi dan situasi ruangan yang kurang refresentatif, gaduh, kadang dipenuhi asap rokok, sehingga kondisi kurang kondusif, dan kurang fokus.
  • Penyelenggara pelatihan menawarkan paket pelatihan secara bombastis dan kurang rasional. Waktu satu atau dua hari tapi setara 32 JP demi memenuhi standar minimal untuk bisa diakui sebagai pengembangan profesi guru pada unsur utama. Padahal logikanya kegiatan pelatihan harus berlangsung antara 3 atau 4 hari. Hal ini dilakukan untuk menarik minat guru agar mengikuti kegiatan tersebut. akibatnya, sertifikat menjadi orientasi utama, sedangkan ilmu dan pengalaman menjadi nomor kedua dan ketiga.

Penyelesaian Masalah

Berdasarkan kepada tiga masalah tersebut di atas, maka Saya berpendapat bahwa perlu ada perbaikan dalam manajemen pelatihan menulis, antara lain:

  • Jumlah peserta tidak terlalu banyak dalam satu kelas. Misalnya 30-40an orang agar kegiatan pelatihan bisa dikelola dengan baik, dan bisa lebih fokus;
  • Pelatihan menulis harus berientasi kepada produk. Tidak hanya sekedar pelatihan, lalu bubar, tteapi dikawal sampai bisa bisa jadi sebuah karya tulis ilmiah;
  • Proporsi pelatihan harus lebih banyak praktek dibandingkan teori. Misalnya 70% praktek dan 30% teori;
  • Materi pelatihan jangan terlalu ambisius. Satu atau dua materi tapi fokus.
  • Penyelenggara sebaiknya mengundang praktisi menulis agar benar-benar menguasai teknik menulis dan bisa berbagi pengalaman tentang menulis;
  • Pelatihan jangan hanya mengiming-imingi sertifikat untuk memenuhi jumlah jam tertentu yang berpotensi manipulatif demi mengejar AK.
  • Tingginya semangat guru dalam mengikuti pelatihan menulis menjadi peluang bagi penyelenggara pelatihan menulis untuk menyelenggarakan pelatihan menulis. istilahnya, akan terjadi simbiosis mutualisme antara pelaksanana pelatihan dengan guru. Apalagi pasca sertifikasi dan mendapatkan Tunjagan Profesi Guru (TPG), guru diwajibkan untuk meningkatkan profesionalismenya.
  • Saya yakin banyak guru yang ingin menjadi penulis handal dan ingin menerbitkan buku. Hal tersebut tentunya adalah peluang bagi organisasi profesi guru atau penyelenggara untuk memfasilitasi pelatihan menulis bagi guru. Hal ini pun menjadi peluang bagi penerbit-penerbit, baik penerbit mayor maupun penerbit indie merangkul guru memasukkan naskah bukunya untuk diterbitkan.
  • Penyelenggara pelatihan menulis pun bisa mengandeng surat kabar, minimal surat kabar lokal untuk menyediakan space bagi guru untuk menulis. Bagi penulis pemula, ketika sebuah tulisan dibuat di surat kabar, tanpa honor pun, dia akan merasa senang dan bangga. Tulisan dan foto dirinya bisa nampangdi surat kabar sudah menjadi kebahagiaan. Selain itu, dengan dimuat di surat kabar, tulisannya bisa dibaca banyak orang, bahkan tidak mustahil mampu menginspirasi dan memotivasi pembacanya. Sang penulis juga menjadi populer. Mari benahi manajemen pelatihan menulis agar kualitasnya semakin meningkat dan menghasilkan guru-guru penulis baru.

Penulis, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar (KPLJ).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline