Sejak diluncurkan tahun 2015, gaung gerakan literasi semakin menyebar ke seluruh penjuru negeri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa dalam menyongsong generasi emas 2045. Walau disadari langkah ini terlambat, karena di negara-negara maju, literasi adalah hal yang sudah tidak asing lagi, tetapi sebuah pepatah bijak mengatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Secara sederhana literasi banyak diartikan sebagai keberaksaraan atau melek membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, literasi bukan hanya mencakup baca tulis saja, tetapi juga dalam bidang yang lain seperti teknologi, informasi, komunikasi, media, sains, ekonomi, keuangan, pajak, hukum, lingkungan, dan sebagainya.
Ketika seseorang mengetahui tentang banyak hal dalam sebuah bidang tertentu, bisa dikatakan dia menjadi sosok yang literat. Membaca merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan sosok yang literat. Membaca harus dijadikan sebagai kebutuhan, kebiasaan, bahkan sebagai gaya hidup.
Indonesia masih kedodoran dalam hal minat baca. Hasil studi UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca. Selebihnya, belum memiliki minat baca, dalam artian membaca buku atau bahan cetak. Kantor perpustakaan nasional mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi, tapi tidak suka membaca buku.
Seiring dengan perkembangan gerakan literasi, maka saat ini dikenal yang disebut literasi produktif. Sejauh ini, belum ada pengertian yang baku tentang literasi produktif, tetapi secara umum literasi produktif diartikan sebagai aktivitas membaca untuk menghasilkan sebuah tulisan. Dengan kata lain, berbagai sumber bacaan yang telah dibaca menghasilkan tulisan baru. Untuk bisa menulis, syarat pertama dan sangat penting harus mau membaca. Bagaimana bisa menulis kalau malas membaca? Dari membaca bisa muncul inspirasi, ide, atau gagasan yang bisa ditulis.
Di sekolah, literasi produktif mendorong guru dan siswa untuk menghasilkan karya atau kreativitas baru sebagai buah dari membaca. Dalam menumbuhkan minat baca, siswa diminta membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum pembelajaran dimulai dan pohon literasi, yaitu semacam gambar pohon yang daun-daunnya adalah judul-judul buku yang telah dibaca oleh siswa.
Seorang guru kelas yang kreatif memanfaatkan dinding kelas untuk menggambar pohon literasi. Anak-anak yang telah membaca buku, tinggal menempelkan “daun-daun” ke ranting-ranting pohon. Selain itu, siswa diminta untuk melakukan kajian buku dan menuliskan hasilnya, lalu dipresentasikan di depan kelas.
Seorang guru kimia yang kreatif, menugaskan siswanya untuk menghapal dan mendeskripsikan nama-nama unsur kimia melalui sebuah puisi, kemudian disusun menjadi sebuah buku. Melalui buku tersebut, siswa dapat belajar kimia secara menyenangkan karena tidak serasa belajar kimia sebagai mata pelajaran yang membosankan dan ribet, tetapi belajar kimia “rasa sastra.” Hal ini bisa juga disebut sebagai literasi produktif.
Ada juga guru yang melakukan literasi produktif berbasis IT dengan cara membuat berbagai aplikasi atau software. Apalagi di jaman modern saat ini, manusia tidak dapat dipisahkan dengan perangkat IT. Aplikasi atau software tersebut tentunya dibuat berdasarkan hasil membaca, menganalisis, mengkaji terhadap perkembangan dan kebutuhan zaman.
Literasi produktif juga dapat dilakukan dengan banyak membaca buku, jurnal, atau sumber lain yang bermanfaat. Jumlahnya dari waktu ke waktu semakin bertambah. Intinya, dengan semakin banyak membaca, maka pengetahuannya semakin bertambah pula dan karya tulisnya pun diharapkan bertambah. Bagi sebagian besar orang, membaca merupakan pekerjaan yang membosankan bahkan membuat mata jadi ngantuk, tetapi bagi yang memang hobi membaca, hal tersebut menjadi sangat menyenangkan. Baginya, membaca adalah sebuah “petualangan akademik” untuk memberikan gizi terhadap otaknya.
Walau demikian, ketika ingin membaca, harus hati-hati dan selektif, karena saat ini banyak sekali beredar berita-berita hoax di media sosial, yang tujuannya untuk memprovokasi, memfitnah dan mengadu domba. Oleh karena itu, kita pun harus menjadi pembaca yang literat, jangan asal baca atau sebar berita, hal tersebut bisa terkena kasus pidana. Sudah cukup banyak contoh orang yang harus berurusan dengan polisi karena menyebar berita hoax, menghina, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di media sosial.