Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Sastra dan Pendidikan Karakter

Diperbarui: 27 September 2016   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Buku-buku sastra pada rak. | pixabay.com

Ketika mendengar atau membaca istilah sastra, ingatan Saya terbawa kepada mata pelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa asing, atau bahasa daerah karena pada mata pelajaran tersebut dipelajari tentang sastra. Sastra berasal dari bahasa sansakerta yaitu susatra, “Su” artinya baik atau indah dan sastra artinya tulisan. Jadi, susastra artinya tulisan yang indah, tapi bukan tulisannya yang indah seperti kaligrafi, tetapi maksudnya adalah isi kata-katanya yang indah dan menggugah hati pembaca, sehingga emosi pembaca larut dalam tulisan yang dibacanya.

Karya sastra adalah karya rekaan penulis berdasarkan sudut pandangnya, pengalamannya, wawasan ilmu pengetahannya, apa yang dilihatnya dan suasana hatinya. Jadi karya sastra adalah karya imajinasi penulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Menurut, Sapardi (1979:1) sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Sewaktu sekolah, Saya belajar tentang sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tahu tentang puisi “Kerawang-Bekasi” dan “Aku” karya Chairil Anwar. Ketika Saya membaca puisi “Kerawang-Bekasi”, Saya bergetar, rasa nasionalisme Saya pun tergugah hebat. Puisi “Aku” Saya baca dengan penuh semangat dan penuh penghayatan. Kedua puisi itu tampak sangat memiliki “ruh” ketika dibaca. Puisi-puisi karya Taufik Ismail dan WS Rendra pun begitu akrab menjadi sumber bacaan.

Roman Layar Terkembang, Salah Asuhan, dan Siti Nurbaya menjadi beberapa karya sastra yang begitu enak untuk dibaca. Dari sekian banyak karya sastra, karya-karya sastra itulah yang paling Saya kenal. Terus terang, Saya bukan seorang penikmat sastra yang baik, dan tertarik mempelajari karya sastra lebih jauh. Novel terakhir yang Saya baca adalah Habibie-Ainun, Laskar Pelangi, dan Sepatu Dahlan. 

Saya hanya mempelajari sastra saat mempelajari pelajaran bahasa Indonesia saja. Pada mata pelajaran bahasa Sunda, Saya pernah membaca dongeng “sakadang kuya jeung sakadang monyet”, sisindiran, dan guguritan¸dan sekarang banyak yang lupa.

Dalam konteks pendidikan, Saya berpendapat bahwa karya-karya sastra dapat menjadi sarana pendidikan karakter. Karya sastra sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Jenis-jenis karya sastra antara lain; sajak/puisi, pantun, roman, novel, cerpen, dingeng, legenda, dan naskah drama.

Dengan membaca karya sastra yang berkualitas, pembaca khususnya siswa dapat mengambil pelajaran dari uraian cerita, kisah, atau karakter tokoh yang terdapat tulisan yang dibaca. Karya sastra bukan hanya sekedar untuk dibaca, tetapi juga untuk diambil pelajarannya oleh pembaca dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari. Karya sastra yang dapat dipelajari bukan hanya karya sastra nasional saja, tetapi juga karya sastra yang bertema kedaerahan, seperti sastra Sunda.

Setelah membaca karya sastra, misalnya novel atau cerpen, guru dapat menugaskan siswa untuk menjawab  beberapa pertanyaan. Misalnya apa tanggapan siswa terhadap karya sastra tersebut yang dibacanya? Mengapa suka membaca karya sastra tersebut? tokoh mana yang paling menarik perhatian? Tokoh mana yang paling disukai? Beserta alasannya Tokoh mana yang tidak disukai? Beserta alasannya, apa pelajaran yang berguna untuk diterapkan dalam kehidupan siswa? dan beragam pertanyaan lainnya. Intinya guru mengeksplorasi kemampuan berpikir kritis siswa sehingga berdampak terhadap pembentukan karakter siswa.

Saat ini pemerintah mewacanakan tentang pentingnya pendidikan karakter. Lima nilai yang diprioritaskan antara lain: (1) nasionalisme, (2) integritas, (3) kemandirian, (4) gotong royong, dan (5) religius. Kelima hal tersebut sesuai dengan visi Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo.

Tahun 2010, pada masa pemerintahan Presiden SBY juga gaungkan tentang penananaman nilai pendidikan karakter. Ada 18 nilai yang ingin diterapkan. Maka dilakukanlah berbagai macam kegiatan seperti sosialisasi, seminar, pelatihan, workshop,dan sebagainya. Dan ganti rezim, ganti kebijakan. Dari 18 nilai dikerucutkan menjadi lima nilai karakter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline