Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Persatuan dalam Ketidakbersatuan

Diperbarui: 19 Agustus 2016   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: okezone.com

Kegiatan mantan Presiden atau politisi yang dianggap memiliki rivalitas selalu menjadi perhatian setiap peringatan HUT RI. Sebagaimana sudah diketahui bersama, ada tiga tokoh yang saat ini paling menjadi sorotan, yaitu mantan presiden Megawati, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan mantan capres 2014 Prabowo Subianto.

Publik masih ingat ketika SBY menjabat presiden selama dua periode, yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, Megawati tidak pernah datang menghadiri undangan peringatan HUT RI di istana dengan alasan sibuk, ada kegiatan yang bentrok, dan memilih memperingati HUT RI bersama pengurus PDIP dan konstituennya. Selain itu, ada juga alasan bahwa tidak ada kewajiban mantan presiden untuk hadir pada peringatan HUT RI, walau pun diundang.

Kini Joko Widodo yang notabenekader PDIP menjabat sebagai presiden memasuki masa jabatan dua tahun. Dengan kata lain, sudah dua tahun Jokowi menjadi inspektur upacara peringatan HUT RI di istana. Megawati, yang sebelumnya tidak pernah ikut menghadiri undangan peringatan HUT RI di istana, kini sudah dua tahun berturut-turut menghadirinya, sementara SBY justru tidak tampak hadir di istana.

Apakah ini sebuah “politik balas dendam” dari SBY kepada Megawati meskipun yang menjadi presiden bukanlah Megawati? Semoga saja tidak. Saya sendiri berupaya untuk berpikir positif dan berharap suatu saat dapat diri undangan upacara HUT RI di istana negara. Ketua partai Gerindera, Prabowo Subianto pun memilih melakukan upacara dengan para pengurus DPP Gerindera dan para konstituennya.

Pada dasarnya, setiap orang berhak menyelenggarakan atau mengikuti upacara dimanapun atau dengan siapapun, tapi sebagai mantan kepala negara, Megawati dan SBY diharapkan menjadi negarawan, tidak menampakkan diri sebagai dua orang politisi yang pernah memiliki masalah pribadi di masa lalu. Tidak terus “memelihara” perang dingin diantara mereka.

Saya mengamati, baik Megawati, SBY, Prabowo Subianto, ataupun tokoh-tokoh politik lainnya, dihadapan para pendukungnya mengajak untuk bersama membangun bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, tidak mudah berpecah belah, tidak mudah terprovokasi, dan berbagai ajakan baik lainnya, tetapi ketika mereka, khususnya Megawati dan SBY diminta untuk berada dalam satu forum, sangat sulit untuk terwujud.

Saling sindir pun masih terjadi. Ketika SBY merasa disudutkan oleh pernyataan pejabat era pemerintahan Jokowi saat ini, maka SBY pun meresponnya melalui kicauan di twitter. Akibatnya, menjadi sarana saling balas pernyataan antara para netizen,baik yang pro dan kontra baik kepada SBY maupun rezim yang berkuasa saat ini.

Kita mengharapkan para tokoh tersebut menjadi negarawan, yang memiliki kebesaran jiwa, mau saling memaafkan antar kesalahan masing-masing, dan menjadi teladan bangsa Indonesia. Rakyat butuh pemimpin yang menjadi teladan bagi mereka. Pemimpin yang satu kata antara perkataan dan perbuatan, bukan sebaliknya.

Saya melihat bahwa saat ini terjadi persatuan dalam ketidakbersatuan. Maksudnya adalah, anak-anak bangsa hanya mau bersatu dengan kelompoknya, tetapi menjaga jarak, menjauhi, bahkan mudah menyalahkan atau menyesatkan kelompok yang berbeda pemahaman. Setiap anak bangsa ini harus menyadari negara ini didirikan atas dasar fluralisme. Oleh karena itu, harus mau hidup dalam keberagaman, saling menghormati antara satu dengan yang lainnya, bukan gontok-gontokkan.

Kita kadang banyak menghabiskan banyak waktu untuk berdebat dan saling menyalahkan antara satu dengan yang lain, tanpa menghasilkan solusi untuk memperbaiki persoalan bangsa. Perbedaan, kepentingan, dan ego kelompok justru lebih ditonjolkan daripada persamaanya.

Kita harus mencontoh para pendiri bangsa seperti Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Natsir, Sjahrir, Buya Hamka, dan tokoh bangsa yang lainnya berbeda pendapat, tetapi mereka tetap saling menghormati. Muhammad Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden karena berbeda pandangan dengan Soekarno. Natsir pernah dipenjara karena terlibat pemberontakan PRRI/ PERMESTA tahun 1958. Buya Hamka pun pernah mendekam dalam penjara karena memperjuangkan penerapan syariat Islam. Tetapi ketika Soekarno Sakit, Hatta datang menjenguknya, bahkan Buya Hamka bersedia untuk menjadi imam shalat jenazahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline