Oleh:
IDRIS APANDI
Masih segar dalam dalam ingatan kasus seorang guru di Sidoarjo yang diadukan orang tua siswa gara-gara dianggap melakukan tindakan kekerasan terhadap muridnya, kini muncul kasus baru. Seorang guru di SMKN 2 Makassar dipukul oleh orang tua siswa karena gara-gara anaknya yang berinisial MA melapor kepadanya, bahwa sang guru telah menganiayanya.
Kasus tersebut bermula dari sang guru yang menanyakan tugas kepada MA, dan ternyata MA belum mengerjakannya. Sang guru pun menegur MA dan memintanya untuk tidak mengikuti pelajaran. MA pun keluar ruangan sambil menendang pintu dan berbicara kotor. Lalu, beberapa saat kemudian, orang tua MA datang ke sekolah, dan tanpa basa-basi memukul sang guru.
Ini adalah preseden yang sangat buruk sekaligus sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan. Premanisme dan kriminaliasi sudah masuk dan menjadi horor bagi guru. Guru merasa terintimidasi, takut, dan khawatir kasus penganiayaan atau kriminaliasi terjadi kepadanya. Oleh karena itu, guru lebih memilih bersikap aman, tidak mau mengambil resiko, yang penting asal mengajar, sampaikan materi, lalu pulang. Tidak peduli dengan sikap atau kelakuan siswa.
Banyaknya kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap guru telah merusak bahkan merenggut kedaulatan pedagogik guru. Ruang kelas adalah wilayah kedaulatan pedagogik guru, dimana guru memiliki untuk melakukan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik dalam mengajar dan mendidik siswa-siswanya, dengan tetap mengacu kepada peraturan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, guru harus terbebas dari intimidasi dan rasa takut sehingga bisa secara tenang dan nyaman, tetapi realitanya tidak demikian.
Saya melihat bahwa penyebab terjadinya kasus penganiayaan terhadap guru lebih banyak disebabkan oleh kesalahpamahan siswa dan orang tuanya. Ketika guru memberikan hukuman disiplin kepada siswa dianggap sebagai bentuk kekerasan dan melanggar undang-undang perlindungan anak. Padahal, hukuman yang diberikan oleh guru bertujuan untuk mendidik, membina, dan memberikan efek jera agar tidak melakukan kesalahan serupa.
Di tengah tantangan mendidik siswa yang semakin berat, guru harus memiliki kesabaran yang sangat luar biasa, karena sebagai manusia biasa, guru pun memiliki emosi yang bisa saja terpancing. Karakter siswa jaman sekarang berbeda dengan siswa jaman dulu, dan bentuk-bentuk kenakalannya pun semakin beragam bahkan semakin mengkhawatirkan karena sudah menjurus kepada tindakan kriminalitas. Dampak negatif globalisasi, teknologi informasi, kondisi keluarga, dan pergaulan disinyalir ikut mempengaruhi karakter siswa yang semakin agresif dan sulit diatur oleh guru.
Berbagai organisasi profesi guru telah mengeluarkan pernyataan sikap menolak kriminalisasi terhadap guru, tetapi kasus kekerasan terhadap guru seolah tidak berhenti. Beberapa sekolah pun di awal tahun pelajaran melakukan semacam fakta integritas dengan orang tua siswa agar siswa wajib menaaati tata tertib sekolah dan tidak menuntut pihak sekolah jika suau saat diberikan sanksi atau hukuman disiplin.
Walau berbagai upaya telah dilakukan, tetapi kasus kekerasan atau kriminalisasi terhadap guru masih saja terjadi. Mengapa demikian? Saya melihat hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena belum adanya kesepahaman antara pihak orang tua dan sekolah dalam mendidi anak. Ketika ada siswa yang sulit diatur di sekolah, maka kadang pihak sekolah yang disalahkan karena dianggap tidak mampu membinanya. Orang tua seolah angkat tangan, lari dari tanggung jawab dalam mendidik anak, padahal orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.
Kedua,belum tersosialisasikannya secara optimal berbagai regulasi pendidikan khususnya yang berkaitan dengan pembinaan siswa, baik kepada guru, siswa, maupun orang tua siswa. Saat ini, guru dalam memberikan hukuman disiplin tidak bisa seenaknya sendiri, tetapi perlu memperhatikan tata tertib yang berlaku agar terhindar dari tuntutan.