Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Puasa dan Kepemimpinan Transformatif

Diperbarui: 29 Juni 2016   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepemimpinan transformatif. (Ilustrasi : hwrleadership.files.wordpress.com)

Puasa diwajibkan kepada umat Islam yang beriman untuk membentuk pribadi yang bertakwa. Baik dalam Al Qur’an maupun hadits sudah banyak tercantum berbagai dalil tentang keutamaan puasa. Dan para penceramah pun sudah banyak yang menyampaikannya dalam berbagai kesempatan, baik kuliah subuh, kultum tarawih, dan tulisan di berbagai media, baik media cetak, maupun media online.

Ibarat sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan, setiap orang yang berpuasa menempa dirinya selama sebulan, memperbaiki dan  membersihkan diri agar menjadi manusia yang lebih baik, meningkatnya keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Dalam konteks kepemimpinan, ibadah puasa menjadi sarana melatih kepemimpinan, khususnya memimpin diri sendiri, dan umumnya bagi para pemimpin untuk dapat memimpin staf, karyawan, dan masyarakat dengan baik, karena pada hakikatnya suatu saat seorang pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat sebuah daging, jika daging tersebut baik, maka akan baik seluruh tubuhnya, dan jika daging tersebut buruk, maka akan buruk seluruh tubuhnya. Ketahuilah, daging itu bernama hati.(HR Bukhari dan Muslim). Puasa disamping sebagai sarana untuk mengendalikan keinginan makan dan minum, juga untuk memimpin hati agar terhindar dari sifat-sifat buruk seperti riya, sombong, takabur, iri, dan dengki. Hati ibarat panglima yang mengendalikan seluruh manusia. Ketika hati seseorang baik, maka setiap perkataan, sikap, dan perbuatannya akan baik, dan sebaliknya ketika hati manusia buruk, maka sikap, perkataan, dan perbuatannya pun akan buruk.

Godaan bagi yang orang berpuasa cukup berat. Mungkin dia dapat menahan dari mengonsumsi makanan dan minuman hingga datangnya waktu berbuka puasa, tapi menahan godaan hawa nafsu, itu yang lebih berat, sehingga Rasulullah SAW bersabda “Banyak orang yang berpuasa, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus.” (HR Thabrani). Hal ini disebabkan karena selama berpuasa, dia tidak mampu menjaga perkataan, sikap, dan perbuatannya. Dia berpuasa, tapi menuruti hawa nafsu, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, memimpin hati merupakan pekerjaan yang sangat berat.

Hati yang sehat akan berdampak terhadap jiwa dan fisik yang sehat, sebaliknya, hati yang sakit juga akan berdampak terhadap jiwa dan fisik yang sakit. Banyak orang yang badannya sehat karena hatinya bebas, selalu berpikir positif, dan tidak memikirkan kekurangan-kekurangan orang lain. Sementara itu, banyak orang yang jatuh sakit karena ngabathin,hatinya terkungkung oleh rasa iri, dendam, hasud, dan banyak memikirkan kekurangan-kekurangan orang lain, sehingga dia lupa terhadap kekurangan dirinya sendiri. Ibaratnya, gajah di ujung lautan terlihat, sedangkan semut di pelupuk mata tidak terlihat.

Puasa adalah sebuah proses transformasi diri. Dengan kata lain, puasa sarana memperbaiki atau meningkatkan kualitas diri seseorang yang diperlihatkan dalam peningkatan kualitas ibadah dan peningkatkan kualitas akhlaknya. Bagi seorang pemimpin, dampak puasa antara lain; menjadikannya lebih peka, empati, dan peduli terhadap keinginan, harapan, dan keluh kesah para stafnya. Dia mampu merasakan terhadap apa yang dirasakan oleh bawahannya. Dia merasakan bagaimana  tidak enaknya lapar dan dahaga, sehingga rasa solidaritasnya pun semakin meningkat. Selain itu, dia pun bisa secara bijak mengambil keputusan terhadap berbagai aspirasi tersebut.

Menjadi pemimpin memang tidak mudah, sehingga tidak sembarang orang dipilih atau ditunjuk menjadi pemimpin. Orang yang menjadi pemimpin biasanya orang yang telah dinilai cakap baik dari sisi kualitas intelektual, kedewasaan berpikir, maupun kematangan emosi. Menjadi pemimpin harus mampu mengayomi seluruh staf yang memiliki beragam karakter dan keinginan, serta kadang harus berani mengambil keputusan disaat-saat sulit.

Bagi seorang pemimpin, puasa juga merupakan sarana kontemplasi dan refleksi telah sejauh mana dia memimpin dirinya dan para stafnya? Sudah sejauh mana dia mampu mempengaruhi dan menggerakkan para bawahannya dalam mencapai tujuan organisasi? Dan sudah sejauh mana peningkatan kinerja lembaga dibawah kepemimpinnya? Semoga para pemimpin kita senantiasa diberikan kekuatan lahir dan bathin dalam memimpin rakyatnya. Semoga ibadah puasa menjadikan para pemimpin menjadi sosok pemimpin transformatif, yaitu pemimpin pembawa perubahan, pemimpin penginspirasi, dan pemimpin yang memimpin dengan hati. Aamiin yra....

Bandung, 24 Ramadhan 1437 H/ 29 Juni 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline