Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Mempuasakan Budaya Konsumtif

Diperbarui: 29 Juni 2016   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya konsumtif. (Ilustrasi : img.okezone.com)

Oleh:

IDRIS APANDI

Hiruk pikuk aktivitas menyongsong lebaran semakin terasa. Jalan raya macet oleh kendaraan-kendaraan pemudik dan orang-orang yang berbelanja kebutuhan lebaran. Begitu pun pasar, mall, kios-kios pedagang kali lima penuh sesak oleh para pembeli, seolah takut kehabisan barang. Tawaran-tawaran diskon besar-besaran di mall-mall juga telah “membius” banyak orang untuk memburunya, bahkan rela antri berjam-jam asal dapat diskon.

Toko dan mall buka lebih awal dan tutup lebih akhir, bahkan bukan sampai tengah malam untuk melayani pembeli. Untuk menarik minat orang belanja di malam hari, ada mall yang sengaja memberikan diskon besar antara pukul 22.00 sampai dengan 24.00. Dan bagi orang-orang yang bermental “modis” alias modal diskon, hal ini tentunya tidak akan dilewatkan untuk mendapatkan barang dengan harga miring.

Bagi pengelola mall, momentum lebaran adalah kesempatan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, Diskon hanya lah sebuah trik marketing saja, karena biasanya harga barang dinaikkan terlebih dahulu sebelum diberi diskon. Mereka pun rela membayar uang lembur bagi karyawan  yang mau bekerja sampai larut malam atau bekerja di hari libur. Jika ditaksir, uang yang beredar menjelang lebaran bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Uang mengalir deras dari dari kota-kota ke desa-desa, belum lagi uang yang dikirimkan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri, tentunya jumlahnya akan semakin bertambah.

Menjelang lebaran, aroma konsumerisme memang begitu terasa. Semuanya lakukan untuk menyambut lebaran. Mulai dari toko-toko pakaian, penjahit, toko sendal-sepatu, toko-toko kue, bengkel, show roomkendaraan, toko material, jasa cuci karpet, salon, sampai tukang cukur kebanjiran pelanggan. Bank, kantor pos, dan pegadaian pun disesaki nasabah. Hanya sebagian kecil saja yang mencoba untuk istiqamah melawan nafsu konsumerisme. Mereka memilih untuk “mengasingkan diri”, beri’tikaf, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di hari-hari terakhir ramadhan. Dan sebagian besar, larut dalam konsumerisme, seolah-olah uang THR harus dihabiskan untuk persiapan lebaran, padahal, uang THR harus dikelola dengan baik agar tidak keteteran setelah lebaran. Bukankah Islam mengajarkan umatnya untuk menghindari perbuatan mubadzir dan berlebih-lebihan?

Rasulullah SAW mengajarkan agar ketika shalat sunnat idul fitri memakai pakaian yang terbaik. Bagi sebagian besar masyarakat, pakaian terbaik diartikan sebagai pakaian baru. Padahal tidak demikian. Pakaian terbaik adalah pakaian yang masih layak pakai dan suci dari najis. Dan bagi umat Islam, sebaik-baiknya pakaian adalah taqwa.

Menggunakan pakaian dengan berbagai asesoris yang serba baru juga sebenarnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai berlebih-lebihan, apalagi sampai memaksakan diri meminjam sana-sini agar bisa membeli pakaian baru. Supaya bernilai ibadah, maka hal yang pertama kali dilakukan ketika memakai pakaian adalah meluruskan niat. Niatkan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat dari Allah, bukan niat untuk riya, sombong, atau ingin dipuji orang lain.

Fenomena yang terjadi saat ini adalah kecenderungan budaya konsumtif di masyarakat. Budaya tersebut didukung oleh budaya hedonis dan materialistis. Akibatnya, esensi dari puasa untuk mengendalikan hawa nafsu menjadi hilang, karena gagal mengendalikan nafsu konsumerisme. Ada kalanya, makanan-makanan yang ada di rumah, hanya menjadi “hiasan” di meja sehingga harus dipanaskan berkali-kali. Kue-kue pun kadang menjadi basi, karena terlalu lama ada di lemari. Perut yang harus kembali beradaptasi pasca puasa, diisi dengan beragam makanan dan minuman secara kurang terkontrol menyebabkan sakit perut.

Menurut Saya, budaya konsumtif jelang lebaran perlu dikendaikan dengan cara membuat skala prioritas dalam daftar pengeluaran, dan lebih bijak dalam membelanjakan uang, karena kebutuhan kita bukan hanya pada saat lebaran saja, tetapi juga untuk hari-hari setelah lebaran . Hal ini tentunya perlu diantisipasi agar kondisi keuangan dalam keluarga tetap sehat, aman, dan terkendali. Pastikan pula, berbagai pengeluaran yang kita keluarkan tidak melupakan kewajiban kita membayar zakat fitrah. Menyucikan diri hanya dengan beras 2,5 kg setiap tahun atau menurut sebagian ulama boleh diganti dengan uang seharga beras tersebut.

Lebaran atau hari raya idul fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam setelah sebulan berpuasa. Oleh karena itu, mari ekspresikan hari kemenangan tersebut secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan, karena Allah SWT tidak suka dengan hamba-Nya yang suka berlebih-lebihan. Jangan sampai puasa kita gagal gara-gara berlebih-lebihan pada saat lebaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline