Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Indonesia Darurat Literasi

Diperbarui: 4 April 2017   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca buku. (Iustrasi : republika.co.id)

Indonesia darurat literasi. Kalimat tersebut tampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat kondisi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Aktivitas membaca belum mendapat tempat dalam hati masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan budaya lisan alias mengobrol. Ketika nongkrong di warung kopi, mall, di tempat kerja, atau ketika istirahat di rumah pun, mengobrol menjadi hal yang mengasyikkan.

Hasil kajian UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca. Selebihnya, belum memiliki minat baca, dalam artian membaca buku atau bahan cetak.  Mengapa Saya menggarisbawahi membaca buku atau bahan cetak? karena kalau membaca membaca status di media sosial, bangsa Indonesia termasuk yang paling rajin. Masyarakat Indonesia adalah salah satu pengguna medsos paling tinggi di dunia.

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia tidak dapat dipandang sebagai masalah yang sepele, karena budaya baca merupakan salah satu ciri yang berperadaban modern. Bangsa-bangsa yang maju di dunia seperti Jepang dan Korea Selatan, rata-rata masyarakatnya gemar membaca. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tentunya harus berpacu dengan waktu meningkatkan minat baca masyarakatnya.

Sekali lagi, Indonesia saat ini mengalami darurat literasi. Jangan sampai generasi Indonesia menjadi generasi yang malas membaca. Perlu pemikiran dan langkah nyata dari semua pihak terkait untuk mengatasi agar krisis ini tidak semakin parah. Diluncurkannya Gerakan Literasi merupakan langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi darurat literasi. Perlahan tapi pasti gerakan ini terus digemakan oleh pemerintah dan para pegiat literasi.

Sebagai sebuah gerakan yang baru diluncurkan tahun 2015, tentunya belum semua pihak mengetahui dan mendapatkan sosialisasi berkaitan dengan budaya literasi ini. Oleh karena itu, perlu adanya kampanye dan sosialisasi yang masif dan intensif agar semua pihak terkait mengetahui dan mampu berpartisipasi menyukseskan gerakan tersebut. Media yang dapat digunakan sebagai sarana kampanye disamping dengan mengoptimalkan media sosial, juga dengan menggunakan media cetak, media elektronik, poster, brosur, dan berbagai kegiatan sosialisasi secara offair.

Fakta empirik menunjukkan bahwa jangankan di masyarakat, di lingkungan sekolah dan instansi pendidikan pun, gerakan literasi belum dijalankan. Hanya segelintir sekolah saja yang baru melaksanakannya. Itu pun biasanya karena memiliki guru yang peduli dan menyenangi dunia literasi, sehingga dia menjadi pelopor dan koordinator gerakan literasi di sekolahnya.

Sementara di sekolah-sekolah lain, gerakan ini belum mendapatan sambutan yang menggembirakan, masih dianggap sebagai program yang hanya menambah beban atau pekerjaan guru.  Jangankan bicara gerakan literasi, perpustakaan dan mading yang ada di sekolah pun kurang terurus. Kepala Sekolah dan guru-guru kurang memiliki kepedulian membangun dan menumbuhkan budaya literasi. Perlu penyadaran yang terus menerus kepada mereka agar mau menyalaksanakan gerakan literasi di sekolah.

Rendahnya minat baca di sekolah, tidak jauh berbeda dengan kondisi minat baca di lingkungan rumah dan masyarakat. Rumah-rumah banyak yang sepi dari aktivitas membaca. Para anggota keluarga banyak yang mengisi waktu senggangnya dengan bermain gadget, menonton TV, atau mengobrol. Buku menjadi barang yang asing di rumah. Meskipun demikian, ada sebagian kecil keluarga yang sudah mencoba untuk mendisiplinkan diri membaca buku atau belajar di saat senggang. Jam 18.00 sampai 21.00 pesawat TV dimatikan karena jam tersebut adalah waktunya belajar atau waktunya bercengkrama dengan para anggota keluarga.

Begitupun di masyarakat, setali tiga uang. Minat dan budaya baca masih rendah. Membaca diidentikan hanya tugas pelajar, mahasiswa, dan praktisi pendidikan, padahal aktivitas membaca merupakan hal positif yang dapat dilakukan oleh semua orang. Membaca memberikan manfaat bagi yang melakukannya. Paradigma seperti itu perlu ditanamkan secara bertahap dalam lingkungan masyarakat. Selain itu perlu diciptakan sebuah situasi atau lingkungan yang mendorong masyarakat untuk giat membaca, seperti mendirikan taman bacaan, perpustakaan, bazaar buku, dan sebagainya.

Dengan adanya gerakan literasi yang dilakukan secara masif, diharapkan krisis literasi yang saat ini dihadapi oleh Indonesia sedikit demi sedikit dapat pulih, dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki tingkat budaya baca yang tinggi. Budaya baca yang tinggi merupakan modal yang sangat berharga menjadi bangsa yang maju dalam IPTEK. Semoga...

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pegiat Literasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline