Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Cinta dari Sepotong Tahu Sumedang

Diperbarui: 26 April 2016   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

IDRIS APANDI

“Mau beli tahu pa?” tanya seorang pedagang tahu ketika Saya dan anak Saya mendekati gerobak dagangan tahu Sumedang miliknya di daerah Sasak Bubur Cihampelas Kab. Bandung Barat Jawa Barat .“Iya mas. Berapa harga satu buahnya?” Saya menjawab pertanyaan sekaligus balik bertanya padanya. “500 rupiah satu buahnya pa. Barang kali mau mencicipi pa?” jawabnya, sambil menawari Saya untuk mencoba tahu dagangannya. Saya pun mengambil satu buah tahu dan mencicipinya.

Sambil mencicipi tahu, dalam hati Saya berpikir baik juga nihpedagang tahu, mau menawari Saya mencicipi tahunya. Mungkin tujuannya untuk meyakinkan Saya bahwa tahunya tersebut enak, gurih, dan tidak basi. Dia juga ingin menunjukkan bahwa tahu yang dijualnya lebih unggul dibandingkan dengan tahu yang dijual orang lain.

Menurut Saya, dalam konteks marketing, secara sadar atau pun tidak, sang pedagang tahu sumedang tersebut telah menerapkan strategi marketing yang efektif. Disamping telah berusaha untuk menunjukkan bahwa dagangannya berkualitas, layak dibeli, juga sebagai bentuk pendekatan persuasif meraih kepercayaan pembeli, karena baginya pembeli adalah raja, pihak yang perlu mendapatkan pelayanan prima.  Malam itu, sang pedagang telah berhasil memesona dan memikat hati Saya. Setelah mencicipi tahunya yang gurih tersebut, akhirnya dengan penuh keyakinan Saya membeli sekian buah tahu untuk Saya bawa sebagai cemilan bersama keluarga.

Hanya dengan satu buah tahu, sang pedagang telah meluruhkan hati Saya. Secara ekonomis, keuntungannya sedikit berkurang karena dia telah menggratiskan satu tahu untuk Saya cicipi, tetapi secara psikologis dia telah berhasil membuat pembeli, yaitu, Saya menjadi pembeli yang loyal. Saya tentunya tidak akan banyak berpikir jika suatu saat ingin membeli tahu lagi. Pikiran Saya langsung menuju ke dirinya. Sang pedagang telah menambah jumlah konsumen. Dia menggratiskan satu tahu untuk meraih keuntungan jangka panjang.

Bagi Saya, sebenarnya bukan hanya tahu gratis yang membuat Saya sangat terkesan padanya, tetapi sikap sikap sopan santunnya kepada pembeli. Sifat ini yang perlu dimiliki bukan hanya oleh pedagang, tetapi oleh setiap orang. Pedagang harus bisa menawarkan dagangannya dengan penuh keyakinan. Kemampuan berkomunikasi efektif dan berdiplomasi mutlak diperlukan. Pedagang juga harus sabar dalam menanggapi konsumen yang menawar dengan harga yang sangat murah, rewel, atau bawel. Konsumen adalah raja, dia bebas menawar sesuka hatinya, tetapi pedagang pun harus mampu mempengaruhi dan meyakinkan bahwa dagangannya memang layak dibeli tidak semurah yang ditawar konsumen. Disitulah proses negosiasi terjadi sampai munculnya kesepakatan antar kedua pihak.

Selain sang pedagang tahu sumedang, sebenarnya ada juga beberapa pedagang lain yang sikapnya telah membuat Saya menjadi konsumen setia. Misalnya, seorang pedagang bubur di wilayah Cihampelas KBB juga. Selain buburnya enak, juga karena sikap yang santun. Ketika pembeli datang, dia sambut dengan wajah sumringah, mempersilakan duduk, menawari minuman. Dengan sopan, dia  menanyakan kepada pembeli barang kali ada permintaan khusus yang berkaitan dengan bubur yang dipesannya. Dia mempersilakan kepada pembeli untuk menikmati bubur yang telah terhidang. Dia tidak lupa mengucapkan terima kasih ketika sang pembeli menyerahkan uang pembelian. Hal lain yang membuat dia berbeda dengan pedagang lain adalah dia selalu mengingatkan sekaligus mendo’akan sang pembeli agar hati-hati dalam perjalanan pulang. Karena sikapnya tersebut, tidak heran jika dagangannya selalu habis tidak lama setelah dia jajakan.

Ada lagi, seorang pedagang makanan di Pasar Baru Bandung yang telah lama menjadi langganan Saya beserta keluarga kalau belanja ke pasar baru. Karena cukup seringnya kami datang ke sana, sang pedagang sudah familiar dengan wajah-wajah kami. Kalimat yang kami dengar ketika kami datang ke rumah makannya adalah panggilan “Selamat datang Pa Haji dan Ceu haji, silakan duduk” sambil sigap membersihkan dan menanyakan menu makanan yang akan dipesan. Panggilan tersebut kami anggap sebagai do’a karena kami belum berkesempatan melaksanakan rukun Islam yang kelima tersebut. Menurut Saya, mungkin hal tersebut adalah bentuk penghormatan atau mungkin juga sebuah trik membangun keakraban dan kenyamanan berkomunikasi antara penjual dan pembeli.

Gambaran dari ketiga pedagang tersebut di atas memberikan pelajaran kepada Saya tentang pentingnya seseorang memiliki sikap yang baik, mampu berkomunikasi secara efektif, santun, dan sabar sebagai modal membangun relasi sosial yang baik antara sesama manusia. “Membeli” hati seseorang tidak perlu dengan hal yang mahal, cukup dengan sepotong tahu sumedang, wajah yang sumringah, dan kata-kata yang santun. Wallaahu a’lam...

Penulis, Penyuka Tahu Sumedang Tinggal di Bandung Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline