[caption caption="Mendikbud Anies Baswedan sedang memberikan pengarahan kepada para Narasumber Nasional (NS) yang akan menjadi fasilitator diklat Kurnas bagi Instruktur Nasional (NS) Kurikulum Nasional di Pusbangtendik Pegawai Kemdikbud, tanggal 20/03/2016. (Foto : Kemdikbud)"][/caption]
Oleh:
IDRIS APANDI
Setelah dihentikan sementara tahun 2014, gebyar Kurikulum 2013 yang saat ini disebut Kurikulum Nasional (Kurnas) kembali muncul ke permukaan. Pekan ini, Kemdikbud mulai melaksanakan Diklat bagi Instruktur Nasional (IN) Kurnas. Para peserta diklat IN tersebut berasal dari tim penyusun kurikulum, penulis buku mata pelajaran, perwakilan guru, dan akademisi sebanyak 761 orang yang difasilitasi oleh 155 narasumber (Kemdikbud, 20/03/2016). Para IN tersebut ditugaskan untuk akan dilaksanakan diklat bagi Instruktur Provinsi (IP), dan kemudian IP akan mendiklat para Instruktur Kabupaten/Kota (IK), dan para IK akan mendiklat para guru di sekolah-sekolah.
Dalam sambutannya, Mendikbud Anies Baswedan menyampaikan bahwa para Narasumber Nasional harus memiliki paradigma dan pemahaman yang tepat tentang kurikulum karena akan melatih Instruktur Nasional (IN) sehingga dalam proses berikutnya para IN dapat menyampaikan secara utuh ilmu dan informasi seputar Kurnas kepada IP, dan dari IP kepada IK, serta dari IK kepada guru-guru di sekolah. Hal yang masih menjadi kekhawatiran dan telah secara nyata terjadi adalah masih adanya pemahaman yang beragam adanya distorsi penyampaian informasi tentang Kurnas. Misalnya, dari NS informasi sebesar 100%, diserap oleh IN 90%, lalu IN menyerap hanya 80%, sampai IP hanya 70%, sampai di IK 60%, dan sampai kepada guru-guru hanya dari 50%.
Hal tersebut tentunya tidak diharapkan. Kita tentu berharap bahwa ilmu dan informasi yang disampaikan dari NS sampai kepada guru-guru sebagai lapisan bawah bisa relatif utuh 100% supaya pemahaman dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan Kurnas relatif sama. Oleh karena itu, rekruitmen IN, IP, dan IK harus benar-benar selektif, berasal dari akademisi dan praktisi pendidikan yang benar-benar memahami dan dapat mengimplementasikan kurnas dengan baik.
Pasca pemberhentian kurikulum 2013, Kemdikbud langsung menindaklanjutinya dengan melakukan revisi pada isi kurikulum 2013, khususnya kaitannya dengan kesesuaian dan keselarasan antara Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD), penyesuaian sistematika bahan ajar atau pokok bahasan yang dipelajari pada kelas atau jenjang tertentu, dan tata cara penilaian otentik yang selama ini dikeluhkan oleh guru.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno menyakan bahwa ada beberapa hal yang baru berkaitan dengan revisi K-13 antara lain: Pertama, penyederhanaan aspek penilaian siswa oleh guru. Pada K-13 versi lawas, seluruh guru wajib menilai aspek sosial dan spiritual (keagamaan) siswa. Sistem ini yang lantas dikeluhkan banyak guru.
Dalam skema yang baru, penilaian sosial dan keagamaan siswa cukup dilakukan oleh guru PPKn dan guru pendidikan agama-budi pekerti. Sementara guru fisika dan mata pelajaran lainnya hanya menilai aspek akademik sesuai bidang yang diajarkan saja. Totok menambahkan, guru mata pelajaran lain boleh menilai aspek sosial sewajarnya. Seperti terkait kenakalan atau misalnya saat siswa ketahuan mencontek.
Kedua, proses berpikir siswa tidak dibatasi. Pada kurikulum yang lama, berlaku sistem pembatasan. Pada kurikulum hasil revisi ini, anak SD boleh berpikir sampai tahap penciptaan. Tentunya dengan kadar penciptaan yang sesuai dengan usia.
Ketiga, teori 5M (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mencipta) tidak sebatas menjadi teori saja. Tetapi, guru dituntut untuk benar-benar menerapkan dalam pembelajaran. Keempat, struktur mata pelajaran dan lama belajar di sekolah tidak diubah. (jpnn, 21/03/2016).